sarikata

ketika sang waktu tidak lagi bersahabat, gunakan hati untuk bermain dengan hari

26 February 2012

Menemukan Hikmah Dalam Setiap Peristiwa - DK

Mendayagunakan AKAL dan KALBU dengan baik, merupakan keterampilan yang menunjukkan kualitas kecerdasan hakiki kita.”

Ketika mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan, apa yang biasanya kita rasakan? Sedih. Marah. Pasrah. Bagaimana dengan peristiwa yang menyenangkan? Gembira. Tertawa. Melompat-lompat. Kadang, kita berada pada titik paling ekstrim dari kedua situasi yang saling bertolak belakang itu. Maka tidak heran jika mood atau perilaku kita bisa berubah 180 derajat dari waktu ke waktu. Namun ada juga orang-orang yang tetap tenang meski tengah ditimpa musibah. Dan ketika mendapatkan kegembiraan, mereka merayakannya sewajarnya saja. Ini adalah cermin dari kontrol diri. Seseorang yang memiliki natural intelligence tinggi, dicirikan dari kemampuannya untuk melakukan kontrol diri seperti ini. Bagi kebanyakan orang, kontrol diri yang paling sulit dilakukan adalah ketika menghadapi peristiwa yang kurang menyenangkan. Bagaimana dengan kita?

Seorang eksekutif bergegas keluar dari mobilnya yang diparkir di tepi jalan. Menjinjing tas laptop, kunci mobil dan handphone sambil memasuki sebuah mini market. Setelah membayar, dia pun melangkah keluar. Pintu berpegas itu hanya dibukanya setengah, lalu dia melintas. Rupanya, pintu menutup sedemikian cepatnya. Sehingga, kaki kanannya terbentur sudut bawah pintu itu. Dia tidak merasakan sakit, namun secepat kilat melihat kearah alas kakinya yang terbuat dari kulit. Rupanya sudut bawah pintu itu tajam sekali, sehingga alas kaki kesayangannya robek. Lelaki itu merasa sangat kesal. 

Namun, sebelum sempat mengumpat, seseorang berkata; “Bersyukurlah kamu mengenakan alas kaki itu, Bung. Jika tidak, maka kaki kamu sudah berdarah-darah. Atau, mungkin uratnya sampai putus ….” Seketika itu pula lelaki itu memegang dadanya. Lalu berucap, Alhamdulillah. Saya tidak sedang menggunjingkan orang lain. Karena peristiwa itu adalah tentang saya, dengan suara batin yang menasihati dari dalam diri saya. Ketika itu terjadi, saya memang kecewa sekali. Namun, suara batin itu bukan hanya bisa menenangkan hati saya, melainkan juga membuka pintu-pintu pandangan logika saya. Sehinga saya, bisa menemukan hikmahnya. 

Bagi yang tertarik menemukan hikmah dalam setiap peristiwa, kita mulai dengan menerapkan 5 prinsip berikut ini:

  1. Hindari Mendahulukan Prasangka. Setiap kali mendapatkan sesuatu yang kurang menyenangkan, respon pertama yang sering muncul dalam benak kita adalah; ‘kok begini sih!’ Hal itu merupakan sebuah pola dalam mental kita. Dan jika kita membiarkannya terus, maka hal itu akan mendorong kita untuk melakukan tindakan kontra produktif. Misalnya, penyangkalan (denial), pembelaan diri (defensive), atau penyerangan (aggression). Kenapa bisa begitu? Karena kita terlanjur mendahulukan prasangka. Ketika prasangka sudah menguasai pikiran (AKAL) dan perasaan (KALBU) kita, maka kita akan kehilangan kesempatan untuk menemukan hikmah dari kejadian yang kita alami. Jika kejadian itu disebabkan oleh ulah seseorang yang ‘kurang ajar’, maka kita akan mencari cara paling efektif (AKAL) untuk membalasnya. Hajar bleh, sampai kita merasa puas (KALBU) oleh terbalasnya kelakuan dia. Dengan demikian, kita akan menjadi pribadi yang sama buruknya dengan orang itu. Maka mendahulukan prasangka, ternyata bukan pilihan yang tepat untuk kita. 
  2. Latihan Mendahulukan Pemahaman. Pernahkah kita memarahi seseorang yang melakukan sebuah kesalahan? Ketika masih menjadi ketua RT, seseorang mendatangi rumah saya sambil marah-marah. Sambil memvonis saya sebagai RT yang tidak peduli pada warga, beliau menjelaskan tentang jabatan tinggi yang disandangnya di kantornya. Bagi orang yang berprinsip ‘elu jual gue beli’ seperti saya; kejadian itu bisa menimbulkan perang bubat. Namun, saya masih sempat bertanya masalahnya apa. Ternyata urusan surat keterangan yang belum saya tanda tangan. Rupanya, beliau menelepon bolak balik menanyakan apakah saya ada di rumah atau tidak. Pembantu kami yang menerima telepon tidak menyampaikan pesan beliau pada saya. Sekarang saya paham. Mengapa beliau marah begitu. Perasaan (KALBU) saya yang tadi sudah panas sekarang menjadi dingin. Pikiran (AKAL) saya yang tadi sudah siap untuk menentukan balasan apa yang saya lakukan, sekarang menjadi tenang. Lalu saya tanyakan dimana suratnya? ‘Ini saya bawa,’ katanya. Saya pun jelaskan 3 hal padanya. Satu, saya tidak tahu soal teleponnya. Dua, surat itu masih ada padanya. Tiga, untuk minta tanda tangan saya tinggal dititip saja surat itu di rumah saya, nanti saya pulang kerja tentu ditanda tangani. Setelah penjelasan itu, muncul kesepahaman diantara kami berdua. AKAL dan KALBU kami, sudah kembali pada fungsi optimalnya. Bagaimana kejadian itu berakhir? Permintaan maaf meluncur, dan kami berpelukan seperti dalam film Teletubies. Hasil dari mendahulukan pemahaman tuch…. 
  3. Fokus Pada Apa yang Tetap Menjadi Milik Kita. Ada kalanya kita tidak bisa menghindari kerugian, kehilangan, atau cobaan dalam berbagai bentuk dan wujudnya. Mungkin ada yang pernah kecurian benda berharganya. Dikecewakan orang yang paling dipercayanya. Disingkirkan oleh orang yang pernah dibela dan diselamatkannya. Atau, juga hal kecil seperti alas kaki kulit kesayangan saya yang robek gara-gara tersangkut pintu minimarket itu. Kita, sering fokus kepada apa yang hilang dari diri kita. Padahal, ketika suara kecil yang datang dari hati (KALBU) saya mengatakan ‘Yang robek alas kaki, kamu. Bukan putusnya urat kakimu itu,” tiba-tiba saja pikiran (AKAL) saya bekerja. Jika mengenakan sandal jepit murah. Mungkin saya hanya rugi Rp. 10,000.- sajah seperti harga beli sandal ituh. Tetapi, jika saya mengenakan alas kaki terbuka seperti sandal murah itu, maka ujung runcing sudut pintu tajam itu tidak terhalang oleh apapun untuk merobek kulit – daging – urat – dan tulang kaki kanan saya. Jika itu terjadi…… Oh! Betapa beruntungnya saya mengenakan alas kaki kesayangan itu. Saya kehilangannya, tetapi saya masih memiliki kaki yang utuh, sehat, sempurna, aman, nyaman dan sanggup untuk mengerjakan tugas-tugas lain hingga Insya Allah; nanti bisa menghasilkan nafkah yang cukup untuk membeli kembali alas kaki seperti itu lagi. Fakta bahwa kita kehilangan sesuatu yang kita cintai memang tidak bisa dimanipulasi. Namun, fakta bahwa kita masih mempunyai banyak hal dalam diri kita menunjukkan bahwa kita punya begitu banyak hal berharga yang masih tersisa. Maka fokuslah kesana. Agar peristiwa itu tidak merenggut hal-hal berharga yang masih kita miliki. 
  4. Tetap Waspada Terhadap Berbagai Kemungkinan. Jika kita pergi dari rumah pada musim hujan, boleh jadi kita menyediakan payung didalam mobil ya? Mestinya sih begitu. Meski ketika kita berangkat, hujan tidak turun. Ada begitu banyak kemungkinan yang kita hadapi. Namun, sebagai orang yang memiliki kemampuan berpikir sehat, ketika perlu mengantisipasi berbagai kemungkinan itu (AKAL). Ketika payung sudah tersedia didalam mobil, maka mau hujan atau tidak nantinya, Kita tidak usah khawatir sepatu, laptop, dan baju kerja Kita terkena basah. Kita tenang saja, karena jika hujan pun masih bisa menggunakan payung (KALBU). Itu baru hal sepele. Bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar dari itu? Salah satu ciri orang yang cerdas adalah ketika dia bisa memperkirakan berbagai kemungkinan (AKAL) untuk menjadikan kehidupan yang dijalaninya tentram dan damai (KALBU). Kombinasi kedua hal tersebut menghasilan sesuatu yang kita sebut sebagai kewaspadaan. Itulah sebabnya mengapa, orang yang waspada itu lebih berpeluang untuk terhindar dari kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan. Sejauh yang saya ketahui dan alami, orang waspada itu bahkan tidak dapat dipengaruhi oleh hipnotis. Mengapa? Karena dia memegang kendali dirinya sendiri, sehingga pengaruh dari luar tidak mudah masuk merusak kondisi jiwanya. Maka mari belajar untuk tetap waspada terhadap berbagai kemungkinan. 
  5. Melipatgandakan Perlindungan dengan Tawakal. Tidak seorang pun yang bisa memperkirakan akan mengalami apa sedetik setelah saat ini. Ada tak berhingga kemungkinan sehingga pikiran (AKAL) kita tidak bisa menjangkau seluruhnya. Meskipun mengaku tidak paranoid, tapi kita sering gelisah dengan apa yang akan terjadi nanti (KALBU). Percayalah bahwa tidak semua hal bisa dijangkau oleh kemampuan manusia. Sehingga patut jika kita menyerahkan diri pada pemilik mutlaknya. Meskipun kita sudah berusaha waspada? Ya. Meskipun kita sudah berusaha waspada sewaspada-waspadanya. Oleh sebab itu, bersikap waspada tidak berarti kita bisa mengantisipasi 100% kemungkinan yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Maka sebagai solusinya, kita butuh mengakui bahwa bukan kita sendiri yang memegang seluruh hidup kita. Mulailah belajar percaya bahwa ada Dzat yang menguasai hidup dan mati kita. Menentukan sukses dan gagalnya kita. Menghitung panjang dan pendeknya usia kita. Maka setelah semua yang kita lakukan secara maksimal untuk mengantisipasi dan mengupayakan yang terbaik itu (AKAL) kita menyerahkan diri kepada Sang Maha Kuasa itu (KALBU). Itulah yang disebut sebagai ‘tawakal’. Maka mari kita lipatgandakan perlindungan diri kita dengan tawakal kepada-Nya.
Hidup kita semua, tidak semata berisi hal-hal indah belaka. Namun ketika kita mampu menarik hikmahnya, kita akan tetap tentram bahkan ketika tengah menghadapi cobaan yang berat. Hikmah merupakan salah satu dari 4 pilar dalam konstruksi Natural Intelligence. Kemampuan kita mengambil hikmah dalam setiap peristiwa sangat menentukan apakah kita mampu memaknai peristiwa itu atau tidak. Maka salah satu ciri orang yang memiliki tingkat Natural Intelligence tinggi adalah; dia mampu menemukan hikmah dari setiap peristiwa yang dialaminya. Baik di rumah, di kantor. Dimana saja. Dan kepada orang-orang seperti itu, tidak ada yang bisa merusaknya. Kita berulang kali menyebut kata AKAL dan KALBU. Tahukah apa sebabnya? Tepat sekali. Karena AKAL dan KALBU adalah komponen utama dalam struktur konstruksi Natural Intelligence. Mendayagunakan keduanya dengan baik, merupakan keterampilan yang menunjukkan kualitas kecerdasan hakiki kita. Tertarik untuk belajar dan lebih memahami ilmu itu? Mari kita sama-sama mempelajari dan mendalaminya. Yuk, marrri….

08 February 2012

Menyeimbangkan Akal dan Kalbu - DK

"Kesempurnaan manusia tidak semata-mata terletak pada akalnya saja, melainkan juga kalbunya. Maka kesempurnaan hidup hanya bisa dicapai jika seseorang memiliki keseimbangan dalam penggunaan akal dan kalbunya.”

“Kamu itu Hitachi, Nak.” Begitu saya katakan kepada anak saya. “Hitam, Tapi China.” Baru kemarin saya ingatkan lagi tentang hal itu dalam perjalanan kami menuju ke Bandara. Berkaitan dengan Imlek? Tidak juga. Namun meski tidak merayakannya, saya selalu terkesan pada salah satu falsafah kuno Chinese yaitu, Yin dan Yang. Kita selalu diingatkan untuk menyeimbangkan segala sesuatu. Namun, keseimbangan itu seperti apa? Apakah seperti timbangan yang punya bobot sama di kiri dan kanan kedua kompartemennya? Tidak juga. Jika Anda masih ingat symbol Yin-Yang, maka Anda akan lebih mudah memahami makna kesimbangan itu. 

Misal symbol Yin-Yang itu kita menggambarkan kesimbangan antara Akal dan Kalbu. Menurut pendapat Anda, mana yang lebih penting: Akal atau Kalbu? 

Ada masa dimana kita mendewakan kekuatan akal. Orang yang paling encer otaknya diberi nilai lebih. Ada pula periode dimana kita mengagung-agungkan kalbu. Siapa yang paling baik pengelolaan emosional-spiritualnya digadang-gadang sebagai pribadi yang mumpuni. Tidak heran jika penganut kecanggihan IQ tidak juga sejalan dengan para pengusung kehebatan EQ dan SQ. Kenyataannya, manusia diciptakan dengan Akal dan Kalbu yang saling menyatu secara utuh. Maka, mulai sekarang; marilah memperlakukan diri kita sendiri secara utuh pula. Kita tidak bisa terus menerus mendiskreditkan salah satu dari kekuatan akal atau kalbu itu. Kesempurnaan hidup itu hanya bisa dicapai jika seseorang memiliki keseimbangan dalam penggunaan akal dan kalbunya. Karena kesempurnaan manusia tidak semata-mata terletak pada akalnya saja, melainkan juga kalbunya.

Keseimbangan antara Akal dan Kalbu inilah sebenarnya yang menjadi inti dari Natural Intelligence.Tidak mungkin manusia mencapai puncak dari kualitas penciptaan dirinya tanpa memaksimalkan kapasitas akal dan mengoptimalkan potensi kalbunya. Makanya, tidak heran jika kita sering melihat orang yang pandai dalam mengambil keputusan. Jago berbicara dalam setiap persidangan. Namun kata, perilaku, dan buah dari tindakannya jauh dari ciri pribadi yang memiliki nurani. Atau sebaliknya, banyak juga orang yang terlihat sedemikian salehnya. Namun, sangat tidak kompetitif. 

Kebutuhan kita dalam menyimbangkan Akal dan Kalbu berlaku untuk semua aspek kehidupan. Karena tidak ada satu aspek pun dalam hidup kita yang terlepas dari peran akal, dan peran kalbu. Mendahulukan akal, tidak berarti mengabaikan kalbu. Sebaliknya, mendahulukan kalbu tidak berarti menihilkan fungsi akal. Keduanya harus dipakai. Mungkin hanya porsinya saja yang berbeda bergantung konteksnya. Seberapa banyak porsi akal dan porsi kalbu yang tepat? Anda bisa menakarnya melalui symbol Yin dan Yang. Disana Anda bisa tahu, kapan saatnya Anda harus menggunakan Akal lebih banyak dari Kalbu atau sebaliknya. Atau, pada kondisi tertentu keduanya digunakan dalam proporsi yang sama

Kenapa sih untuk seimbang kita tidak menggunakan prinsip timbangan saja? Kiri kanan 1 kg pasti seimbang? Tidak bisa. Karena timbangan hanya menggunakan pertimbangan akal yang eksak. Prinsip timbangan menghasilkan kesetimbangan statis (Static Equilibrium). Sedangkan prinsip Yin & Yang menjelaskan tentang Kesetimbangan Dinamis (Dynamic Equilibrium) yang menjaga ‘keseluruhan energi’ (universal wholeness) dimana didalamnya memungkinkan kita untuk meramu Akal dan Kalbu dalam proporsinya masing-masing. Ketika kita bisa menggunakan Akal dan Kalbu secara seimbang dan dinamis itu, tidak berarti kita selalu menggunakan keduanya sama banyaknya. Melainkan sesuai dengan tuntutan untuk menghasilkan keputusan atau pertimbangan terbaik. Bukan untuk dunia saja. Melainkan juga untuk akhirat kita. Ketika kita bisa mencapai kesetimbangan dinamis antara Akal dan Kalbu itulah kita disebut sebagai pribadi yang memiliki tingkat Natural Intelligence atau kecerdasan hakiki yang tinggi.

Dalam Natural Intelligence kita tidak hanya mempertimbangkan urusan duniawi. Melainkan juga ukhrowi alias akhirat kita. Itulah sebabnya dalam buku Natural Intelligence Leadership, Anda menemukan kisah-kisah teladan para Nabi. Mengapa? Karena tidak ada pribadi yang lebih layak untuk dijadikan tempat berguru selain para Nabi. Keliru jika kita mengagung-agungkan para motivator atau public speaker sambil melupakan ajaran Nabi-Nabi kita. Karena sehebat apapun para pembicara itu, tidaklah sebanding dengan kualitas para Nabi. Tidak bolehkah mendengar para public figure yang menyeru kepada kebaikan? Sangat boleh. Harus, bahkan. Tetapi, jangan sampai kekaguman kita. Kegandrungan kita. Ketundukan kita kepada para orator itu menjauhkan kita kepada fakta bahwa Tuhan, telah mengirimkan para utusannya sebagai Nabi dan Rasul bagi kita. Jangan sampai kita mendengar para trainer, namun meninggalkan ajaran para rasul.

Bukankah Nabi kita berbeda? Memangnya kenapa? Meski mereka berbeda, ada dua kesamaan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi suci itu. 
Pertama, Para Rasul mengajak untuk menyembah hanya kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. 
Kedua, para Nabi suci itu selalu mengajak kita untuk meraih keseimbangan hidup didunia dan diakhirat. 

etahuilah bahwa para Nabi adalah the first hand masters dalam bidang Natural Intelligence. Melalui Jibril, Tuhan membimbing mereka untuk memahaminya. Lalu mempraktekkan dan mencontohkan kepada para umatnya agar mampu menggunakan Akal dan Kalbu secara seimbang. Keseimbangan antara penggunaan Akal dan Kalbu memungkinkan kita untuk menyeimbangkan pencapaian kita di dunia dan akhirat. Jika Anda bersedia mendengar nasihat para pembicara publik – seperti saya – misalnya; bersediakah Anda untuk kembali kepada tuntunan para Nabi yang mengajak Anda kepada kehidupan di dunia dan akhirat sekaligus? Yuk, kita sama-sama mengikuti jejak langkah mereka.

Keseimbangan antara penggunaan Akal dan Kalbu membantu kita menyeimbangkan pencapaian kita di dunia dan akhirat

06 February 2012

Mengapa Seseorang Layak disebut Leader? - DK

Catatan Kepala: 
”Jika orang yang disebut sebagai leader itu hanya menempatkan bawahannya pada posisi sebagai pelaksana pekerjaan rutin, maka orang itu belum berhasil menjadi ’leader’.”
 
Judul artikel ini tidak dituangkan untuk menggugat atasan yang dinilai kurang kompeten. Saya menggunakannya untuk mengajak Anda untuk melihat kedalam, apakah didalam diri kita memang sudah ada tanda-tanda jika kita ini memiliki kualitas pribadi yang memadai? Kualitas yang memadai untuk apa? Untuk menjadikan diri kita layak disebut sebagai seorang leader. Mengapa? Karena kita sering terlalu sibut mengejar titel jabatan, bukan mengejar kompetensi. Setelah mendapatkan jabatan itu pun kita sering terlampau sibuk untuk menjaga ‘citra’ sebagai pemimpin yang disegani atau dipatuhi. Dan sering lupa, bahwa nilai diri kita sebagai pemimpin hanya terletak kepada apa yang bisa kita lakukan saat menjalankan fungsi kepemimpinan itu. Bukan pada titel mentereng kita. Jadi, mengapa seseorang layak disebut pemimpin? 

Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan sebuah forum yang dihadiri oleh para pemimpin. Ditengah hujan kritik atas nihilnya dampak kepemimpinan organisasi, ada sebuah kalimat terlontar : 
”Kalaupun para pemimpinnya diganti, apakah kebijakan dan pola kerja akan berubah hingga keadaan menjadi lebih baik?”

Pertanyaan itu keras. Provokatif. Dan berpotensi menyinggung harga diri banyak pemimpin yang hadir. Namun, tak seorang pun yang berani atau bersedia menjawabnya. Bisakah Anda memberikan jawaban akurat? Faktanya, banyak sekali proses pergantian kepemimpinan yang tidak menghasilkan perubahan apapun selain ‘nama pemimpinnya’. Sedangkan hal-hal lainnya, berjalan seperti sebelumnya saja. Fakta ini menunjukkan betapa banyaknya ‘leader’ yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan yang sesungguhnya. Memangnya apa saja sih kualitas kepemimpinan itu? Banyak teori. Dan banyak kriteria. Anda tidak akan kekurang jenis-jenisnya. Bagi Anda yang tertarik merenungkan apakah kita layak disebut sebagai leader, kita coba dengan mulai memahami 5 kualitas kepemimpinan dari sudut pandang berikut ini:

1. Menjadi yang terdepan, bukan sedekar mengikuti petunjuk dari orang lain. 
Ada sebuah istilah yang sejak lama kita kenal, yaitu; ‘pemimpin boneka’. Kelihatannya saja orang itu yang memimpin, namun sebenarnya dia dikendalikan oleh orang lain. Keliru, jika kita menganggap bahwa istilah itu hanya cocok digunakan pada masa penjajahan, atau ketika suatu negara adi daya mengintervensi negara lain secara politik. Pemimpin boneka juga banyak bertebaran di perusahaan-perusahaan. Hanya saja, ‘kebonekaannya’ terjadi secara sukarela. Lho, kok bisa? Bisa. Caranya; ya sudah, ikuti aja petujunjuk dari boss besar atau atasan yang lebih tinggi. Tinggal di ‘cascade’ kepada bawahan kita. Selesai. Ini lho, jenis pemimpin boneka dalam konteks kita. ‘WOOOOOOY! GUA TERSINGGUNG DISEBUT BONEKA!” Alhamdulillah, bagus kalau begitu. Sehingga mulai sekarang, kita bisa memposisikan diri di garis terdepan perjuangan bersama anggota team yang kita pimpin.

2. Menjadi innovator, bukan sekedar melestarikan apa yang sudah ada
Banyak pemimpin yang harus mengambil alih suatu posisi yang ditinggalkan oleh pemimpin hebat sebelumnya. Sebagai pemimpin hebat, tentu pendahulunya sudah mewariskan banyak hal hebat juga dalam team itu. Namun ketika beliau pergi, maka penggantinya sering terpukau oleh kehebatan pendahulunya. Semuanya sudah ‘tepat’ pada tempat dan proporsinya, begitu system nilai yang kemudian berlaku. Maka tak heran, jika setelah berkali-kali terjadi pergantian kepemimpinan pun tidak ada perubahan yang signifikan di organisasi itu. Benarkah hal itu karena pemimpin terdahulu sudah menjadikan organisasisi itu sedemikian hebatnya? Bukan. Itu karena pemimpin-pemimpin yang menggantikannya kemudian menempatkan dirinya sebagai sekedar pelestari apa yang sudah ada selama ini. What about you?

3. Melahirkan gagasan-gagasan baru, bukan sekedar pelaku kebiasaan lama
Agak aneh juga ya jika ada pemimpin yang dalam karir kepemimpinannya tidak bisa melahirkan gagasan-gagasan baru. Kemane aje wooooooy….? Jelas sekali jika itu mengindikasikan 2 kemungkinan. Sang pemimpin tidak menjalankan tugasnya, atau hanya menjadi pelaku dari kebiasaan lama. Menarik juga ketika ada orang yang jujur mengakui bahwa sebagai pemimpin beliau bukan tipe pemikir. “Sulit untuk melahirkan gagasan baru bagi orang yang bukan pemikir,” katanya. Sahabatku, gagasan baru itu tidak harus besar. Tidak harus dipikir rumit. Sering bahkan dihasilkan dari sebuah pertanyaan sederhana seperti ini;”Kalau kita melakukannya dengan cara begini, hasilnya bagaimana ya?” So, start from there, wherever you are.

4. Mencari terobosan, bukan sekedar terkungkung penjara rutinitas belaka
Bisa dipastikan jika setiap kemandekan yang dialami oleh suatu organisasi terjadi karena orang-orang didalam organisasi itu tidak menemukan ‘jalan keluar’ dari pekerjaan rutin yang dilakukan begitu-begitu saja sepanjang waktu. Padahal, kita tahu bahwa apa yang sesuai saat ini, mungkin sudah obsolete 5 atau 10 tahun lagi. Kita memahami itu sambil tetap kukuh berpegang pada praktek dan cara-cara yang sudah kita gunakan sejak 5 atau 10 tahun yang lalu. Maka itu artinya hari ini, kita sudah mulai memasuki lorong-lorong dead-end menuju kebuntuan. Orang-orang hanya akan bisa membebaskan diri dari penjara rutinitas itu, jika mampu mencari terobosan. Siapakah penaggungjawab ‘orang-orang itu’ itu? Karena kita leadernya, ya kitalah penanggungjawabnya. So, tugas mencari terobosan itu ada pada pundak kita yang telah terlanjur berani menyodorkan diri untuk menjadi pemimpin mereka.

5. Selalu bertanya; ‘Setelah ini, apa lagi ya?’
Tidak pernah ada kata selesai bagi orang-orang yang senantiasa membiarkan otaknya terjaga. Bangun. Melek. Dan terus berputar. Karena orang-orang seperti itu tidak pernah berhenti meski ‘baru saja’ menyelesaikan sebuah tugas yang sangat besar. Bahkan, dalam tidur pun mereka bermimpi tentang sesuatu yang mungkin bisa dilakukannya lebih baik bagi dirinya sendiri. Bagi orang lain. Bagi organisasi yang dipimpinnya. Bagi dunia. Karena mereka percaya, bahwa seperti halnya Tuhan yang tidak pernah berhenti berkarya; Tuhan suka sekali pada hambanya yang terus menerus mengeksplorasi diri melalui pertanyaan; “setelah ini, apa lagi?” Dari pertanyaan sederhana itulah inovasi lahir. Pemikiran baru muncul. Gagasan brilian berlompatan. So, keep asking; “Setelah ini, apa lagi?”

Perusahaan membutuhkan leaders yang memiliki ke-5 kualitas diatas. Karena tantangan bisnis yang dihadapi oleh perusahaan semakin hari semakin besar. Bisa berupa tantangan yang datang dari luar atau kompetitor yang terus menerus menggerus pangsa pasar. Bisa juga yang datang dari internal perusahaan sendiri berupa visi dan misi serta target-target pertumbuhan yang semakin menantang. Tanpa ke-5 kualitas itu? Seseorang hanya akan menjadi semakin frustrasi, dan akhirnya tanpa daya menyerah kepada keadaan. Sebaliknya, mereka yang memiliki ke-5 kualitas itu selalu menjadi leader yang bisa diandalkan untuk membawa team yang dipimpinnya menuju pencapaian tinggi. Jika sekarang Anda berencana untuk pergi ke toilet, siapkan pertanyaan ini; mengapa Anda layak disebut leader? Kepada siapa pertanyaan itu diajukan? Kepada dinding toilet yang dilapisi cermin.

Catatan kaki :
Masa depan perusahaan ditentukan oleh kualitas kepemimpinan orang-orang yang mengendalikannya.