Kebahagiaan…
adalah sebuah rasa dalam suatu kondisi atau keadaan yang aman, nyaman, damai
dan gembira. Dan rasa ini sangat berhimpitan dan berkaitan dengan kegembiraan,
dimana pada umumnya rasa ini terkait erat dengan suatu rasa kepuasan atau
sebuah kejadian terhadap pencapaian sesuatu. Dan ada juga orang yang menjadikan
kebahagiaan adalah sebagai tujuan hidupnya, apakah kebahagiaan bisa menjadi
tujuan hidup?
Kebahagiaan
adalah bagian dari sebuah rasa, dan apakah rasa itu sendiri? Rasa merupakan
unsur bathin yang memiliki sifat dasar mengalami suatu kejadian. Tanpa rasa,
kita tidak akan pernah mengalami suatu kejadian atau keadaan atau keinginan dan
kita tidak akan pernah tahu bagaimana bentangan akan kebahagiaan dan ketidak
bahagiaan. Tingkat pengetahuan dan intelengensi, juga mempengaruhi tingkat
kebahagiaan masing-masing individu.
Lantas
apakah kebahagiaan masih bisa kita jadikan tujuan kita? Perlu kita ketahui
bahwa sebuah kebenaran mendasar, tidak ada seorangpun individu manusia ingin
tidak bahagia serta bisa dipastikan semua individu manusia ingin bahagia dan
selalu bahagia. Namun tidak sedikit individu yang mengejar kebahagiaan tidak
menemukan kebahagiaan itu, dan semakin dia kejar semakin terasa jauh
kebahagiaan itu. Apakah kita sadar bahwa sebuah kebahagiaan “biasa” adalah
sebuah penderitaan dari/karena perubahan.
Lantas
bagaimana kita untuk mencapai dan merasakan kebahagiaan itu? Ternyata caranya
cukup sederhana, kita cukup memiliki keinginan, cita-cita ataupun harapan, dan
semua itu adalah sebuah hasrat diri. Tapi jangan jadikan kebahagiaan itu
menjadi hasrat, karena bila kita menempatkan kebahagiaan sebagai tujuan dan
bisa dipastikan kita akan selalu dalam kondisi tidak bahagia. Kenapa demikian?
Karena individu yang mengejar kebahagiaan, adalah individu yang tidak pernah
puas akan kebahagiaan disekitarnya dan dia selalu akan mengalami kegelisahan,
ketakutan serta ketidakpuasan yang ujung-ujungnya akan merasakan ketidak
bahagiaan. Individu-individu yang mengejar kebahagiaan adalah individu yang
egois, serakah, ambisius berlebihan dan individu yang selalu iri serta takut
kehilangan individunya sendiri.
Pada
dasarnya kebahagiaan itu sifatnya tidaklah kekal dan manusia tidak akan pernah
merasa puas akan kebahagiaan yang dia rasakan, karena tidak ada sebuah kebahagiaan
sejati. MIsal jika kita es krim adalah sebuah kebahagiaan sejati tentunya
semakin sering dan banyak kita makan es krim disetiap kesempatan, kita akan
menjadi lebih bahagia. Namun kenyataannya semakin sering dan banyak kita makan
es krim, makin cepat kita mencapai titik ketidak bahagiaan dan makan es krim
menjadi sebuah penderitaan atau penyiksaan.
Demikian
juga semisal kita menginginkan sebuah kedudukan atau pangkat atau harta, saat
kita mencapainyapun kebahagiaan itu hanya sesaat menghampiri diri kita dan kita
rasakan. Karena saat kita berada diposisi merasakan kebahagiaan tersebut, saat
berikutnya kita akan merasakan kegelisahan. Kegelisahan karena ketakutan
kehilangan yang kita raih, atau kegelisahan karena kita menginginkan sesuatu
yang lebih dari yang kita raih saat ini, atau kegelisahan karena kejenuhan atas
apa yang kita raih saat ini. Lantas bagaimana caranya kita merasakan
kebahagiaan sesungguhnya dan jangka panjang? Semuanya terletak pada rasa syukur
dan bagaimana kita bisa menahan diri.
Bagaimana
cara menggapai nilai kebahagiaan tertinggi dan berkelanjutan? Yakni dengan
membangun kebiasaan untuk selalu bersyukur dan menahan diri dari keinginan,
cita-cita ataupun hasrat yang berlebihan. Menahan diri untuk tidak berpikir, bertindak,
ataupun berbicara merusak dibawah pengaruh sikap dan perasaan gelisah, serakah,
melaknat, marah ataupun hal-hal yang menjijikkan. Semuanya itu berakar pada nurani
atau keluguan, perilaku seperti ini adalah sebuah perilaku yang membangun.
Bila
perilaku membangun ini kita miliki, perilaku ini akan membangun daya bathin
kita secara berkesinambungan dan daya bathin kita akan menjadi semakin matang.
Kematangan bathin ini akan menjadikan kita individu yang sederhana, individu
yang tidak melebih-lebihkan ataupun menyangkal kebaikan atau keburukan yang
kita terima. Dan kematangan bathin ini akan menjadikan kita pribadi dengan
cita-cita ataupun hasrat yang jauh dari kekhawatiran dan lebih tenang. Dalam
ketenangan dan keheningan ini, kita akan merasakan impuls kebahagiaan yang
lebih besar dimasa datang dan berkesinambungan.
Dengan kematangan bathin ini,
kita lalu
memperluas cita-cita kita dengan mengalihkan perhatian kita pada
masalah-masalah orang lain dan bahwa mereka mungkin berada dalam keadaan yang
lebih buruk dibanding keadaan kita. Kita berhenti memikirkan hanya diri kita.
Kita berpikir betapa indah jika semua orang dapat bebas dari penderitaan
mereka, dan betapa luar biasa jika kita bisa membantu mereka untuk
mewujudkannya. Rasa welas asih yang kuat ini tentunya menuntun kepada rasa
kasih dan keinginan bagi mereka untuk bahagia. Berpikir tentang
kebahagiaan mereka semakin memicu daya bathin kita menjadi lebih matang.
Dengan pikiran-pikiran welas asih dan kasih ini, kita
kemudian mengarahkan pikiran-pikiran kita untuk turut bertanggung jawab dan benar-benar mencoba
membantu orang lain. Ini membantu kita memperoleh kekuatan dan keberanian untuk
memecahkan hal yang tidak hanya masalah-masalah orang lain, melainkan juga masalah-masalah kita
sendiri. Tapi sekali lagi, tanpa melebih-lebihkannya dan tanpa
kekhawatiran-kekhawatiran tentang kegagalan atau harapan-harapan tentang
keberhasilan.
Apakah saat ini kita sudah merasakan rasa kebahagiaan itu?
* sudah siapkah kita dan generasi kita menjadi bagian dari "give generation"