sarikata

ketika sang waktu tidak lagi bersahabat, gunakan hati untuk bermain dengan hari

23 November 2014

Revolusi Hati (Give Generation)


Waktu dan jaman telah berubah, kedua hal itu dalam sebuah masa generasi biasa kita sebut era. Pola pikir, budaya, social, ekonomi dan gaya hiduppun makin bergeser dari keteraturan menjadi ketidak teraturan, era keterbukaan semakin menuntut kita untuk selalu dinamis dalam berpikir. Namun bila cara berpikir kita tidak diiringi dengan pola yang teratur dan sistematis, maka akan semakin liar dan peradaban moralpun akan hilang.

Semua hal akan terbalik, kebenaran akan tampak salah ataupun hal yang salah akan tampak benar, karena adanya ketidak puasan dan keinginan sebuah nilai dari sudut pandang social atau orang lain disekitarnya. Yang memperjuangan kebenaran akan tampak aneh dan perlahan tergerus untuk kemudian divonis bersalah.

Yang mungkin saat ini sering kita dengar kata reformasi atau revolusi, namun pada prosesnya perubahan itu membawa korban yang tidak sedikit. Baik itu korban secara fisik (nyawa, harta, keluarga, dsb) yang tampak ataupun korban secara non fisik (akal, culture, pola pikir, budaya dsb) yang tidak nampak dan sulit dinilai. Semua dikarena reformasi dan revolusi pola berpikir tidak “in to out”, tapi hampir semuanya adalah “out to in”, ini adalah era “take and give”.

Lantas kapankah era “give generation”? Mari bersama kita lakukan reformasi hati atau revolusi hati. Iyaa…. hati kita sendiri!!

Dulu manusia untuk menempuh jarak ratusan atau ribuan kilometer, memerlukan beberapa hari jalan kaki. Namun saat ini hanya memerlukan beberapa jam dengan kendaraan bermotor dan bahkan lebih cepat sampai tujuan dengan menggunakan pesawat. Saat ini meskipun posisi seseorang terpisah oleh tempat, jarak dan waktu, bisa langsung berkomunikasi via telpon atau email atau internet.

Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin memanjakan kita, dunia semakin maju dan semakin sempit. Seolah dunia ini menuntut kita untuk selalu mengikuti dan memahaminya, tuntutan jaman semakin keras menuntut generasi-generasi saat ini. Sehingga kita mengalami stress yang mungkin tidak dialami generasi sebelum kita.

Dalam mengatasi stress ini kita dimanjakan dengan beraneka ragam fasilitas hiburan, relaksasi, rekreasi atapun aktifitas-aktifitas lain yang bisa mengurangi ketegangan atau kebosanan kita, seperti olahraga, panjat gunung dan lainnya yang menantang adrenalin tertinggi kita. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam aktivitas yang negative, seperti minuman keras dan obat-obatan terlarang.

Dan tanpa sadar kita yang menghilangkan ketegangan dan kebosanan pada hal-hal diatas yang bersifat sementara. Kita seperti meminum air laut, semakin kita teguk dan nikmati, semakin haus rasanya. Kita akan tenggelam dalam keinginan pribadi, kita akan makin tenggelam dalam kebanggaan pribadi, tidak akan ada kepuasan pada diri kita.

Sekarang coba kita melihat ke diri kita sendiri secara jujur, sebenarnya darimana semua masalah dan ketegangan itu timbul? Mungkin kita bisa sepakat, bahwa diri kita sendirilah yang menyebabkannya. Dan setelah kita ketahui penyebabnya, hanya diri kita sendiri juga yang bisa menyembuhkannya.

Sebenarnya hati kitalah pemimpinnya dan pikiran kitalah pelopornya, hati dan pikiran kitalah yang mengendalikan diri kita. Manusia yang bisa mengendalikan hati dan pikirannya-lah yang akan mendapatkan kebahagiaan. Jaman boleh berubah, dunia boleh bertambah semakin maju dan modern, tapi semua permasalahan dari dulu sampai sekarang berawal dari hati dan pikiran kita. Semakin kita latih dan bekali hati dan pikiran kita dengan berbagai masalah dan tekanan, maka kita akan semakin bisa mengendalikan diri kita dan tidak akan mudah tegang atau bosan dan menyalahkan hal lainnya diluar kendali diri kita.

Sulit? Iyyaa…. Latihan ini bukanlah program sesaat, sehari, seminggu, sebulan, atau beberapa tahun, latihan ini merupakan program seumur hidup. Reformasi/revolusi hati inilah yang nantinya tidak hanya akan membawa seseorang mampu mengatasi masalahnya sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bahkan pada tingkat yang lebih tinggi lagi dapat membawa seseorang pada pemahaman yang sejati dari semua yang ada.

Reformasi/revolusi hati ini harus dimulai dengan mengubah pola pikir kita bahwa semua permasalahan berasal dari diri kita sendiri, dan akan mengantar kita pada sikap sabar dan toleran. Ini merupakan suatu hal yang sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat sulit untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah kita dapat mengubah pandangan salah kita, maka kita akan menjadi lebih mudah dalam menjalani latihan untuk mengendalikan pikiran kita sendiri.

Pusat kesalahannya adalah di ego dan kita akan jumpai kesalahan yang sangat klasik, dimana biasanya disetiap ketegangan dan kebosanan selalu timbul saat kita berpikir, ”apa yang bisa kita dapatkan?” Dan ini akan membuat kita menjadi seseorang yang tidak produktif, tidak pernah puas, tidak pernah bersyukur dan tidak akan memiliki ketenangan. Dan yang pada diposisi paling akut adalah saat kita menginginkan sesuatu, kita berani menjual janji dan kita dengan mudahnya menjanjikan sesuatu, dimana pada saat tertentu kita tidak akan sanggup memenuhi janji tersebut dan tidak sedikit orang stress karenanya.

Reformasi/revolusi hati dan cara berpikir, dengan sebuah bentuk keikhlasan dalam setiap tindakan dan sikap, yang dilatar belakangi pola pikir yang sederhana dan memberi, bukan meminta. Kita bisa latih dengan sedekah, sedekah adalah dasar dari give generation (goo.gl/pURv1W) dan dari sedekah akan melatih kita untuk sabar. Yang pada akhirnya sabar akan melatih kita untuk berpikir sederhana, sehingga kita akan menciptakan hal-hal yang positif dan bermanfaat tidak hanya bagi diri kita, tapi untuk semua orang dan lingkungan sekitar kita.

Saat ini diperlukan reformasi/revolusi hati untuk menciptakan give generation, sebuah generasi pemberi. Generasi dengan karakter kuat, mulia dan mandiri, generasi berwawasan yang sanggup berpikir untuk kepentingan luas dibandingkan kepentingannya sendiri. Dan sesungguhnya mereka akan berindak berasaskan keikhlasan dan ridho ILLAHI.

21 November 2014

Sabar (give generation)


Matahari telah beranjak kembali ke peraduannya dan adzan maghrib-pun berkumandang, anak-anak di daerah ini yang sedang asik bermain langsung bubar dan berhamburan pulang ke rumah. Termasuk kedua jagoanku, mereka segera masuk, mandi dan seperti biasa kami melaksanakan sholat maghrib berjamaah.

Selepas sholat maghrib, sambil menunggu makan malam yang sedang disiapkan ibunda penghias rumah kami. Tiba-tiba anakku yang pertama berkata, “Ayah, boleh tanya sesuatu?”

“Ada apa?” tanyaku

“Buat apa kita harus belajar? Temanku  cukup dengan menyontek, dia mendapatkan nilai bagus”

“Kenapa aku harus menabung? Sedangkan temenku jajan terus dan tidak harus menabung untuk mendapatkan sesuatu”

“Kenapa aku harus menghormati teman-temanku? Padahal mereka bersikap seenaknya terhadapku”

“Kenapa aku harus menjaga lisan untuk tidak menyakiti? Meskipun teman-temanku berbicara seenaknya dan menyakiti”

“Buat apa aku membantu ibu membersihkan rumah? Di rumah teman-temanku ada pembantu, kenapa kita enggak memiliki pembantu?”

“Aku capek melakukan semuanya ayah, aku capek menahan diri, dan aku ingin seperti mereka, karena mereka tampak senang. Aku ingin bersikap seperti mereka”

Kemudian anakku yang kedua menimpali omongan kakaknya dan memiliki pendapat yang sama. Aku bisa memberikan jawaban yang tepat buat mereka, karena akan sangat susah dicerna bagi mereka seandainya aku sampaikan secara lisan. Mereka akan sulit untuk memahami hal ini.

“Hari sabtu besok kita jalan-jalan yaa… ayah akan tunjukkan suatu tempat dan kalian pasti akan suka”, hanya jawaban itu yang bisa aku berikan. Mereka tampak bingung karena aku sama sekali tidak menanggapi keluh kesah mereka dan sekaligus senang karena akan diajak jalan-jalan.

Singkat cerita sampailah kami ditempat yang saya janjikan, “Ayo ikut ayah, kita akan menuju tempat yang tidak akan kalian lupakan”

Kami menyusuri jalan setapak yang masih berupa tanah, selain tempatnya masih lembab dan semalam tempat tersebut habis diguyur rintik hujan yang cukup membuat basah serta makin becek. Kaki kami kotor oleh tanah lumpur, kulit kami sedikit gatal terkena bulu-bulu ilalang dan serangga, dan ditambah lagi ada beberapa belukar yang berduri.

Setengah perjalanan, anak-anakku mulai mengeluh kakinya kotor, badannya gatal dan ada beberapa luka sayat karena duri. Ditambah karena jalanannya yang licin, jalanpun sedikit susah karena kita harus menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset atau jatuh. Mereka mengeluh dan mengatakan ketidak senangan atas jalan yang kami lalui.

Setelah sekian lama, sampailah kami disebuah telaga yang dilengkapi dengan air terjun yang tidak begitu tinggi (hanya sekitar 6 meter tingginya) dan tidak jauh dipinggir telaga ada sebuah batu lempeng besar yang bisa buat duduk 8 orang. Disekeliling danau tersebut tumbuh beberapa tanaman dengan bunga-bunga yang sangat Indah, disini juga ada beberapa jenis kupu-kupu yang sangat indah warnanya dan jumlah mereka sangat banyak. Telaga ini memiliki bagian yang cukup dalam, jadi tidak disarankan untuk berenang. Namun justru karena cekungan tersebut, telaga ini juga terdapat beberapa jenis ikan tawar yang kadang sering berenang di permukaan air dan menambah indahnya telaga tersebut.

Kulihat mereka sangat senang dan kagum terhadap telaga dimana kami tuju, mereka membasuh kaki, tangan dan mukanya dengan air danau yang sangat segar.

“Tempat apa ini namanya ayah? Sangat indah, sangat bagus, aku sangat menyukainya” kata anakku yang pertama

“Kakak, kakak… lihat sini!! Kupu-kupunya bagus banget” teriak anakku yang kedua yang segera berlarian didampingi ibunya sehabis kami membasuh muka.

Mereka tampak senang, mereka sangat kagum sama tempat tersebut. Aku panggil dan ajak mereka duduk di lempeng batu besar di tepi telaga sambil kami nikmati bekal yang kami bawa.

“Kalian suka tempat ini?”, kataku. Dan hanya dijawab dengan anggukan oleh kedua anakku. “Kalian tahu kenapa tempat ini sangat sepi dan hampir tidak ada yang datang, padahal sangat indah”

“Kenapa ayah?”, tanya mereka serempak.

“Karena mereka segan melalui jalan jelek yang kita lewati tadi, mereka tidak bisa dan tidak mau bersabar melalui jalanan itu”, kataku sambil menujuk jalan yang barusan kami lewati.

“Itulah jawaban yang kalian tanyakan beberapa hari lalu, kenapa kalian harus kuat, kenapa kalian harus bersabar dan kenapa kalian tidak boleh mengeluh capek. Apakah tadi kalo ayah ikutin keinginan kalian untuk kembali, kalian akan melihat tempat ini?”

“Tidak ayah”, jawab mereka hampir bersamaan

“Berarti kita harus bersabar ya ayah?”, sahut anakku yang pertama selanjutnya.

“Kita harus kuat dan tidak boleh mengeluh ya ayah?”, anakku yang kedua melengkapi pertanyaan kakaknya.

“Benar, kalian harus sabar dalam belajar, butuh kesabaran dalam berkata dan bersikap baik, butuh kesabaran dalam setiap kejujuran, karena kesabaran dan hati yang kuat dalam setiap kebaikan akan diganjarkan sesuatu yang Indah dan kita akan menjadi pemenang. Seperti saat kita lewati jalan tadi, bukankah kaki kita dikotori oleh lumpur, duripun melukai kulit kita, serangga dan ilalangpun membuat gatal kulit kita. Namun akhirnya semuanya tidak sia-sia khan…?! Kita sampai pada sebuah telaga yang sangat Indah, seandainya kita tadi menyerah dan putar kembali ke mobil dan maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Padahal kaki kita sudah berlumpur, kulit kita sudah luka dan gatal-gatal, oleh karena itu kita harus sabar dan kuat”

“Tapi ayah, kenapa sangat sulit dan melelahkan untuk bersabar?”, tanya anakku yang kedua

“Ayah tahu, oleh karena itu ayah dan ibu akan mendampingi dan membantu kalian agar tetap kuat dan mengangkat kalian kembali saat kalian jatuh. Tapi ingat yang selalu ayah katakan bahwa kalian suatu saat akan sendiri, oleh karena itu jangan pernah gantungkan diri kalian kepada orang lain atau siapapun, jadilah diri kalian sendiri.”

“Iya ayah… aku mengerti, kita harus selalu bersabar dalam kebaikan. Karena surga pasti jauh lebih indah dibandingkan telaga ini khan ayah?!”, kata anakku yang kedua.

“Kita harus tetap bersabar dan tegar saat yang lain terlempar” imbuh anakku yang pertama.

Mereka memang anak-anak yang cerdas, bahagianya aku memiliki mereka. (give generation)

14 November 2014

bunuh saja mimpimu jika....



Mimpi adalah sebuah panggung yang sepenuhnya dalam kekuasaan kita, karena kitalah sutradara dalam cerita yang terjadi di atas panggung tersebut. Ada satu kalimat yang selalu saya ingat dan pegang, “Tidak ada mimpi yang tidak bisa menjadi kenyataan, karena pemilik mimpi itu adalah kita, dan ketika kita yakin akan mimpi kita, maka kehidupan kita adalah mimpi kita”

Apakah sebenarnya mimpi itu? Seperti apakah mimpi itu?
Apakah mimpi adalah hanya sekedar bunga tidur? Dan tidak akan munkin menjadi kenyataan…

Mimpi adalah sebuah kesempatan, dimana sebuah kesempatan memerlukan sebuah keyakinan, dan sebuah keyakinan, berasal dari sebuah kemampuan dan kesiapan. Namun sebuah keyakinan akan sulit diwujudkan tanpa adanya niat serta focus dari pelaku mimpi itu sendiri.

Jadi mimpi akan menjadi sebuah kenyataan tergantung dari niat dan kemamuan kuat dari individu untuk mewujudkannya.

Yang menyebabkan mimpi seringkali tidak terwujud menjadi nyata, saat kita diketemukan dengan rintangan atau ketidak sesuaian dari sebuah rencana atau konsep awal. Disaat itu kita menjadi ragu, dengan serta-merta kita menarik diri dan mundur dari rintangan yang mungkin tidak pernah terduga sebelumnya.

Yakinilah akan mimpimu, hanya kepercayaan terhadap mimpi dan dia akan menjadi kenyataan. Mimpi adalah fana, demikian dengan dunia ini… jadi apa yang terjadi di dunia adalah berasal dari keyakinan, kemauan dan kemampuan kita untuk mewujudkan sebuah mimpi. 

Teruslah bermimpi dan yakin akan mimpimu, atau bunuh saja mimpimu jika tidak ada keyakinan dihatimu.

13 November 2014

dendam rindu



berulang kali kubunuh dirimu
berulang kali engkau bangkit dan muncul dengan congkakmu
dengan pongah kau selalu menginjakku

janganlah engkau senang
karena engkau belum menang
dan engkau tak akan pernah menang

apakah tidak kau lihat apa yang aku siapkan?
ujung panah panah yang siap menusuk jantungmu
sebilah pisau yang sudah aku asah kedua sisinya
yang kusiapkan untuk mencabik dan mengoyak mulut dan hatimu

tetaplah kau mendongak, congkak dan berteriak senang
jangan dulu engkau merasa menang
dalam kesombongan dirimu, aku akan membunuhmu dengan senang

akan kubunuh engkau dalam mimpi kelamku
akan kubunuh engkau sesuka hatiku
akan kucabik dan kukoyak engkau sesuka caraku

kuharap engkau tidak akan pernah mati
karena aku ingin membunuhmu berkali-kali