sarikata

ketika sang waktu tidak lagi bersahabat, gunakan hati untuk bermain dengan hari

25 April 2016

ketika tangan kanan tidak lagi mampu bersembunyi




Riya’ atau pamer, tanpa kita sadari saat ini sering kita lakukan dan tanpa kita sadari menimbulkan kesombongan pada diri kita ataupun rasa iri bagi orang di sekitar kita. Ketika tangan kanan sudah tidak bisa lagi sembunyi dari tangan kiri maka disaat itulah akan makin terseret kita ke dunia materialis dan kejahatan akan semakin marak, karena banyak orang yang merasa kekurangan ditengah harta yang melimpah di sekelilingnya. Setidaknya itulah hal yang pernah terpikirkan saat saya diskusi dengan seorang sahabat puluhan tahun silam.

Bermula dari pembicaraan sembunyikan amalan, jangan sampai tangan kiri tahu apa yang tangan kanan lakukan. Dengan sebuah kisah tauladan Abu Amru bin Nujaid yang memberikan ke rakyat negeri yang sedang krisis dan kelaparan melalui Abu Utsman  Al Hirri.

Abu Amru melalui Abu Ustman memberikan 1.000 dinar untuk membantu krisis di negerinya. Karena sangat gembiranya Abu Utsman mengumpulkan majelis yang juga dihadiri Abu Amru dan Abu Ustman mengatakan, “Wahai saudara-saudaraku, aku mengharap agar Abu Amru memperoleh balasan besar, karena ia telah mewakili beberapa orang dalam ribath (melakukan penjagaan) dan telah memberi bantuan sekian-sekian…

Begitu Abu Utsman selesai bicara,mendadak  Abu Amru berdiri dan berkata, Sesungguhnya uang yang saya berikan adalah harta ibu saya dan beliau tidak ridha, maka mestinya uang tersebut dikembalikan kepada saya untuk saya kembalikan kepada beliau…”

Seketika semua yang hadir di majelis kaget, terlebih Abu Utsman yang tidak menyangka Abu Amru akan bicara begitu. Seketika itu juga Abu Utsman mengembalikan kantong berisi uang tersebut ke Abu Amru dan seluruh yang hadir di majelis bubar.

Namun pada malam harinya Abu Amru kembali datang ke rumah Abu Utsman membawa uang itu kembali dan berkata, Anda bisa memanfaatkan harta ini untuk keperluan seperti kemarin, dan tidak ada yang tahu akan hal ini kecuali kita”

Itulah penggalan kisah tauladan upaya Abu Amru yang menyembunyikan amalan kebaikannya, meskipun mungkin banyak orang yang telah kecewa dengan tindakan yang dia lakukan sebelumnya.

Namun yang sering kita lihat saat ini, makin banyak saudara-saudara kita atau bahkan kita sendiri, entah sadar atau tidak kita telah melakukan riya dan kesombongan demi kesombongan seiring berkembangnya sosial media dan katanya era keterbukaan.

Sudah menjadi hal yang wajar saat kita pergi ke suatu tempat dan kita selfi dengan latar belakang tempat dimana kita berada. Misal selfi dengan latar belakang Menara Eiffel, tanpa kita sadari itu menjadi motivasi orang untuk datang kesana dengan cara yang tidak halal dan atau membuat orang menjadi rendah diri dan minder karena kemampuannya.

Atau juga kita selfi dengan tempat makan dan makanan yang terhidang dan nampak enak atau mahal, yang tanpa kita sadari tidak semua orang yang melihat itu bisa makan ditempat seperti itu. Jangankan makan seperti yang kita makan, untuk makan layakpun dengan lauk dan 3 kali seharipun belum tentu mereka mampu.

Atau ada juga hal yang lucu, bahkan ibadahpun dijadikan update status di sosial media. Misal seperti, “lagi baca qur’an sambil balas sms ayang…”, atau
“puasa senin, jangan ajak makan siang dulu yaa…”, atau
“ini balas wa sambil yasinan”, dan banyak lagi yang lainnya

Ketika tangan kanan sudah tidak bisa lagi mampu menyembunyikan dirinya dari tangan kiri kita, disaat itulah sesungguhnya kita tekah jadi insan yang sombong dan selalu ingin dilihat atas semua yang kita lakukan.

Meskipun semuanya berbalik dari niat hati individu masing-masing, namun ada baiknya kita berpikir ulang kembali setiap apa yang akan kita lakukan. Apakah itu akan membawa manfaat atau mudharat bagi kita dan bagi orang lain. Di saat dunia informasi makin terbuka dan makin berkembangnya sosial media, kita harus lebih bisa memilah dan berpikir akibat dari apa yang akan kita lakukan.

Semoga semua tindakan, tingkah laku, langkah dan pemikiran kita akan menjadi sedekah bagi setiap orang-orang di sekitar kita. Karena sedekah sekecil apapun yang kita lakukan dengan ikhlas akan menjadikan manfaat bagi kita dan yang menerimanya, seperti tercantum dalam Al Baqarah ayat 271 yang artinya "Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu...."

22 April 2016

ketika kita ingin jadi diri kita sendiri



Ketika kita menginginkan diri menjadi diri kita sendiri, disaat itu sesungguhnya kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri. Karena sebenar-benarnya kita telah menjadi diri sendiri adalah disaat kita bukan lagi diri kita sendiri.

Saat ini kita selalu disibukkan kita ingin menjadi apa, sibuk mencari jati diri kita dan siapa sebenarnya diri kita serta apa yang kita cari. Dimana saat semakin kita bersikeras mencari keberadaan diri kita, maka ke-aku-an yang akan melingkupi kita. Seperti kita ingin menjadi orang yang sabar, orang yang murah hati, atau orang yang terpandang dan titel material lainnya yang mungkin ingin kita sematkan di diri kita serta diakui oleh orang-orang sekitar kita. Maka disaat itu kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri.

Namun sesungguhnya kita ini bukan apa-apa atau siapapun. Jangankan hal lain yang melekat pada diri kita, bahkan ruh dan tubuh kitapun bukan milik kita. Ruh kita adalah milik Allah SWT dan badan kita akan kembali melebur dengan bumi, yang mana sesungguhnya rangkaian ruh dan tubuh kita tersusun serta bekerja atas sunnatullah atau rangkaian ayat-ayar Allah yang tidak tertulis.

Dan sesungguhnya kita hanyalah susunan waktu yang perlahan dan pasti akan tergerus oleh waktu. Kita tidak pernah ada, yang nampak hanya wujud semu dan yang sesungguhnya kita adalah ketiadaan. Kita hidup untuk hidup, kehidupan yang kita jalani saat ini bukanlah kehidupan yang sesungguhnya dan ketiadaan saat ini yang nantinya akan jadi kehidupan yang sesungguhnya.

Disaat kita melakukan sesuatu dengan berharap menjadikan kita sesuatu, maka itu tidak akan menjadikan kita apapun untuk sesuatu itu. Lalu bagaimana kita semestinya untuk menjadi diri kita sendiri? Lihatlah air yang selalu bisa menempatkan dirinya dan menyesuaikan dirinya sesuai dengan bentuk tempatnya, lihatlah udara yang selalu bisa menyesuaikan dirinya dan memenuhi setiap ruang yang kosong. Seperti itulah kita semestinya, kita bisa meniru air ataupun udara yang selalu bisa menempatkan dirinya pada setiap tempat dan ruang, serta mereka bisa membuat tempat dan ruang itu secara keseluruhan merasakan kehadiran mereka.

Kita sejak dini selalu ditemukan dengan hal, berbuatlah sesuatu agar menjadi sesuatu. Seperti belajarlah agar kita pintar, kalo pintar kita akan mendapatkan nilai bagus, kalo mendapatkan nilai bagus akan jadi juara kelas, kalo juara kelas akan dapat beasiswa dan seterusnya dan seterusnya dan tidak akan pernah ketemu ujungnya dimana kita dan apakah kita sudah menjadi diri kita. Dimana pola pikir diatas tidak akan menjadikan kita manusia yang bersyukur dan akan menjadikan manusia egois, yang tidak akan ada batas akhirnya

Bagaimana jika pola berpikirnya berubah, belajarlah untuk menjadi pintar, kalo pintar kita bisa tularkan ilmu kita, kalo pintar kita bisa memberikan manfaat pada lingkungan kita, kalo pintar kita bisa jaga lingkungan kita. Bilamana pola pikir ini dikembangkan terus, maka kita akan seperti udara yang selalu akan masuk disetiap rongga atau ruang yang ada. Dan keberadaan kita akan dirasakan dimana saja, disitulah sesungguhnya diri kita. Karena sesungguhnya ruh yang ada di diri kita adalah milik Allah SWT, dan diri kita tidak akan pernah ada tanpa senyum, kebahagiaan ataupun binar kegembiraan insan-insan di sekitar kita.