sarikata

ketika sang waktu tidak lagi bersahabat, gunakan hati untuk bermain dengan hari

21 August 2011

Apa Yang Kita Cari

Apa yg kita cari saat kita masih hidup dan bernafas..

Kebebasan? Kebebasan seperti apa?
Burung aja memiliki kebebasan untuk terbang kemana saja, tetap merindukan tempat tinggalnya..
Layang-layang juga memiliki kebebasan terbang diatas langit, namun dia tetap merasakan kenyamanan jika dia masih tertaut dg seutas benang...
Seperti halnya manusia yang memerlukan suatu ikatan dan tempat untuk berlabuh, kalo tidak ingin melayang-layang seperti layang-layang putus.

Persahabatan? Persahabatan seperti apa??
Setan telah lebih bersahabat dengan kesombongan setiap saat di setiap sel-sel darah yang mengalir di tubuh kita..
Manusia sangat lekat dengan ego dan kesombongannya, jikalau tidak memiliki iman dan kesabaran.

Kesenangan? Kesenangan seperti apa???
Nabi Adam telah mendahului kita untuk mencicipi kesenangan surgawi sebelum kita, kesenangan apalagi yang lebih indah selain kesenangan surgawi..
Tidak ada kesenangan di dunia yang tidak melenakan manusia dalam kesesatan, bilamana tidak disertai dengan rasa syukur dan keikhlasan dalam berbagi.

Kemuliaan? Kemuliaan seperti apa?
Masih adakah manusia yang lebih mulia selain Rasulullah Muhammad saw...
Tidak ada makhluk yang lebih mulia daripada kemuliaan di mata Allah SWT

Yang kita cari adalah jalan-jalan kenabian untuk mencapai posisi yg terdekat dengan Allah
Baik dalam keadaan senang atau sedih
Baik dalam keadaan kenyang atau lapar
Baik dalam keadaan utuh atau porak poranda
Baik dalam keadaan sendiri ataupun bersama-sama

12 August 2011

Menjadi Pribadi yang Membumi


Membumi. Apa artinya ya? Apakah hal itu hanya berlaku untuk gagasan-gagasan kita? Saya kira tidak. Mengapa? Karena kemajuan peradaban manusia justru lahir dari gagasan-gagasan yang semula dianggap tidak membumi. Soal gagasan, sebaiknya kita bikin yang tidak membumi. Agar seluruh daya diri kita bisa dieksplorasi. Lantas, untuk apa kita mempunyai kosa kata ‘membumi’? Bukankah sudah tidak berguna lagi. Berguna atau tidaknya sesuatu bukan terletak kepada keberadaannya, melainkan kepada bagaimana cara dan untuk apa kita menggunakannya. Sekarang, saya ingin mengajak Anda untuk menggunkan kata itu dalam kalimat ‘menjadi pribadi yang membumi’. Yo opo iki, Rek? Se, toh Pak Manteb. Kita ulik-ulik dulu.

Tadi malam, kami berjalan-jalan di luar rumah. Sambil menatap langit anak perempuan mungil kami berkata; “Ayah, langit sekarang ada diatas kita,” katanya. Saya mengangguk. “Orang dibelahan bumi yang lain bagaimana dong?” lanjutnya. Saya terhentak. Hingga berjam-jam kemudian, saya masih terus memikirkan pertanyaan itu. Pertanyaan anak saya sudah sedari tadi terjawab. Sekarang, saya tenggelam dalam lautan pertanyaan yang membajiri benak saya sendiri. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intellligence berikut ini:

  1. Berpijaklah pada satu titik yang sama.
Seberapa sering Anda berselisih dengan teman di kantor? Misalnya saja, orang finance yang sering tidak akur dengan orang sales & marketing. Orang marketing bilang ‘bayar, dong!”, orang finance bilang ‘sabar, dong!’. Masing-masing punya argumennya sendiri-sendiri. Saya mengajak anak-anak berhenti sejenak, lalu memperhatikan bagaimana kedua kakinya berpijak. “Kalau kaki kita bisa menembus kedalam bumi. Lurus terus sampai keluar lagi diujung bumi yang lain, maka telapak kaki kita akan bertemu dengan telapak kaki seseorang yang sekarang sedang berdiri di suatu tempat di Kota New York.” Kita tahu bahwa Jakarta berada kira-kira ‘diseberang’ garis diameter bumi New York. Telapak kaki orang NY tepat berada di telapak kaki orang Jakarta. Maka arah yang disebut sebagai ‘atas’ oleh orang NY adalah arah yang sama yang ditunjukkan oleh telapak kaki kita, dan sebaliknya. Kita hanya benar-benar memiliki arah yang sama ketika kita pergi ke NY, atau orang NY datang ke Jakarta. Hidup juga sama. Kita sering berpijak di dua tempat yang berbeda untuk memperdebatkan suatu urusan. Maka lain kali jika sedang berselisih, berdirilah pada satu titik yang sama. Ketika kita berpijak pada satu titik yang sama, maka kita akan mempunyai standar penilaian yang sama. Jika Anda benar-benar ingin mendapatkan solusi, berpijaklah pada satu titik yang sama.

  1. Milikilah tekad yang bulat.
Pertanyaan; adakah benda langit yang bentuknya tidak bulat? Coba perhatikan sekali lagi, semua komponen pembentuk tata surya mempunyai bentuk dasar bulat. Tidak ada yang segi empat atau segi tiga. Bahkan bentuk bintang pun tidak seperti yang biasanya kita gambarkan. Mengapa begitu? Karena bulat adalah bentuk paling efisien untuk bisa bertahan dalam proses jangka panjang. Makanya benda langit selama berjuta bahkan bermilyar tahun tetap kokoh dalam formasinya yang berbentuk bulat. Sama seperti ketika kita sedang bertekad untuk melakukan sesuatu. Hanya jika kita memiliki tekad yang bulat, kita bisa bertahan sampai berhasil meraih apa yang kita impikan. Tanpa tekad yang bulat? Kita hanya akan segera terhenti begitu rintangan menghadang dan menghalang. Adakah benda langit yang tidak bulat? Ada. Itulah benda yang disebut sebagai ‘sampah antariksa’. Jika tekad kita tidak bulat, bisa jadi kita hanya akan menjadi sampah dunia. Maka milikilah tekad yang bulat. Karena kebulatan tekad menjadikan kita pribadi yang mempunyai endurance alias daya tahan yang tinggi.

  1. Berdirilah diatas pijakan yang kuat
Dulu manusia pernah mengira jika bumi ini bentuknya seperti permukaan meja. Makanya kita dilarang untuk ‘berlayar terlalu jauh’, nanti terjatuh. Sekarang kita tahu jika bumi ini bulat, maka pergi sejauh apapun tidak akan sampai ke ‘ujung meja’ seperti yang kita takutkan. Dalam menjalani hidup, kita sering takut kalau-kalau kita terjatuh. Makanya kita memilih diam ditempat atau berkutat di teritori sendiri. Padahal kalaupun kita terjatuh, gaya gravitasi menjamin kita tetap memiliki tempat untuk berpijak. Jika kita terjatuh lagi, mungkin kita belum berdiri diatas pijakan yang kuat. Selama kita perpijak ditanah yang lembek, maka posisi kita akan tetap labil. Berdirilah diatas pijakan yang kuat. Pengetahuan yang kuat. Keterampilan yang kuat. Semangat yang kuat. Jiwa yang kuat. Kemauan yang kuat. Keyakinan yang kuat. Keimanan yang kuat. Maka kita akan bisa berdiri lebih lama. Bahkan mungkin, tidak pernah terjatuh lagi.

  1. Bergeraklah dalam kecepatan yang tinggi
Anak saya bilang;”Katanya bumi berputar. Tapi kita kok tidak merasakannya sih, Yah?” Secara sains, jawabannya mudah saja;bumi berputar dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga gerakannya tidak bisa dirasakan lagi. Kecepatan yang tinggi adalah wujud komitmen bumi pada pergerakannya. Isyarat kesungguhannya. Kita sering merasa bosan dalam hidup. Waktu seolah berjalan sedemikian lambatnya ketika kita menjalani sesuatu yang tidak menyenangkan. Tetapi, coba ingat-ingat kembali ketika Anda sedang asyik-asyik mengerjakan sesuatu dengan komitmen yang tinggi. Anda sering sampai lupa waktu bukan? Lho, kok sudah malam? Barulah Anda sadar jika teman-teman di kantor sudah pada pulang. Bayangkan seandainya bumi berputar dalam gerak lambat seperti komedi putar di dunia fantasi atau taman hiburan. Kita hanya akan menikmatinya sebentar, setelah itu menjadi bosan. Sungguh, kita butuh perputaran yang cepat. Karena kecepatan menunjukkan komitmen dan kesungguhan. Bekerjalah dengan penuh komitmen dan kesungguhan. Maka Anda akan terdorong untuk bergerak lebih cepat. Dan kita tidak lagi merasakan beratnya.

  1. Tetaplah berada di jalur yang lurus
Saya punya sebuah pertanyaan untuk Anda; seandainya Anda berjalan lurus tidak berbelok sedikitpun, dimana tempat terjauh yang bisa Anda tempuh? Jawaban yang benar adalah; tempat ketika pertama kali Anda melangkah. Jika Anda bergerak lurus di bumi, maka pencapaian tertinggi Anda ditandai dengan kembalinya Anda di titik yang sama. Jika Anda memutari bumi, maka Anda akan kembali ketempat semula. Ini adalah isyarat spiritual penuh makna. Jika kita menjaga kehidupan kita tetap berada dijalan yang lurus, yaitu jalan yang ditunjukkan Tuhan melalui para Nabi; maka kita akan sampai di titik awal penciptaan diri kita. Apakah gerangan titik awal penciptaan kita? Itu adalah tempat tinggal manusia pertama yang Tuhan ciptakan. Dimanakah manusia pertama itu tinggal? Di surga. Itulah titik awal hidup kita. Dan ketempat itu pulalah inginnya kita bisa kembali kelak. PerintahNya sederhana; tetaplah berada dijalan yang lurus. Maka dibimbingNya kita dengan surah Al-Fatihah; ‘Ihdina shirootol mustaqiem’, tunjukilah kami jalan yang lurus.

Menjadi pribadi yang membumi bukanlah untuk melahirkan gagasan yang dangkal. Menjadi pribadi yang membumi adalah memiliki kesadaran akan tibanya saat dimana kita  ‘masuk’ kedalam bumi. Adalah kesadaran bahwa ada langit yang melingkupi bumi. Ketika jasa melebih dengan bumi, jiwa kita terbang tinggi. Di langit, kita akan tinggal dimana?  Silakan tentukan sendiri pilihannya

10 August 2011

Memudahkan Urusan Orang Lain

Ini adalah salah satu kalimat paling popular diantara kita;”Jika bisa di bikin sulit, mengapa dibuat mudah…?” Awalnya kita hanya menganggap itu sebagai sindiran. Lalu berubah menjadi guyonan. Kemudian berevolusi menjadi kebiasaan yang menggoda kita untuk melakukannya juga. Maka tidak heran jika semakin hari, semakin jarang kita temukan orang-orang yang melayani dengan semangat untuk memudahkan urusan orang lain. Cobalah ingat-ingat kembali, mana yang lebih banyak Anda rasakan; pelayanan yang memudahkan urusan Anda atau sebaliknya?

Istri saya memiliki pengalaman menarik. Suatu ketika dia menemani ibunya untuk kebutuhan pelayanan kesehatan di tempat yang jauh. Dia sudah membawa ibu kami ke berbagai tempat, sehingga mempunyai referensi pelayanan dari pengalaman sebelumnya. Di tempat terakhir ini, dia mendapatkan pengalaman berbeda. Sebagai orang baru dia tidak mengenal budaya setempat. Bukan itu saja, beberapa kelengkapan administrasi tidak terbawa pula. Apa yang terjadi? Dia diminta untuk duduk di ruang tunggu, sedangkan ‘semua urusan’ ditangani oleh seseorang yang melayaninya di tempat itu. “Kenapa sih tempat kita sendiri aku tidak menemukan pelayanan seperti ini?” begitulah kalimat yang dilontarkannya. Jawabannya sederhana saja; kita tidak terbiasa untuk memudahkan urusan orang lain. Bagi Anda yang tertarik untuk menemani saya belajar memudahkan urusan orang lain, saya ajak untuk memulainya dengan menerapkan 5 prinsip Natural Intellligence berikut ini:

1.      Mulailah dengan tujuan yang tepat dalam bekerja.
Apa tujuan Anda bekerja?. Uang? Bagus. Namun berhati-hati dengan efek sampingnya. Misalnya, meminta imbalan yang tidak seharusnya Anda terima. Terimalah hanya uang yang memang sudah menjadi hak Anda. Uang sering menjadi ukuran ‘seberapa bersedianya kita memudahkan urusan orang lain”. Maka bekerja dengan tujuan uang, bisa menjadikan kita orang yang benar atau salah. Bagaimana kalau kita mengganti tujuan bekerja itu dari sekedar uang, menjadi ‘ibadah’? Dengan niat itu Anda sudah pasti mendapatkan uang yang menjadi hak Anda sepenuhnya. Tidak akan dikurangi. Dan dengan niat ibadah itu, kita bisa memposisikan diri untuk melayani. Maka bagi orang yang niatnya bekerja adalah ibadah, sangat mudah untuk memudahkan urusan orang lain. Karena dalam ibadah, kinerja kita tercermin dari kemudahan yang dirasakan oleh orang-orang yang kita layani. Jika didalam hati kita masih ada bisikan untuk ‘melambat-lambatkan’ yang bisa cepat, mungkin niat bekerja kita belum tepat. Jika dalam bekerja kita ‘mengabaikan kepentingan orang lain’, mungkin niat kita masih salah. Jika kita hanya mau memudahkan urusan orang lain jika dan hanya jika mereka memberi ‘imbalan’ tambahan diluar hak kita; maka boleh jadi; tujuan kita dalam bekerja belum diubah menjadi ‘ibadah’.

2.      Bangunlah reputasi yang baik untuk diri sendiri.
Mari kita coba perhatikan semua orang atau semua departemen di kantor kita. Ada departemen yang mudah untuk diajak bekerja sama. Ada juga departemen yang semua orang juga tahu betapa sulitnya untuk bekerjasama dengan mereka. Kita juga bisa melihat hal itu di tingkat individu. Ada orang-orang yang kita semua kenal dia sebagai pribadi yang senang sekali menolong orang lain. Ada yang dikenal sebagai orang usil. Ada yang pemarah. Rajin. Malas. Dan ada pula orang-orang yang dikenal sebagai orang yang paling gemar menyusahkan orang lain. Kata ‘dikenal’ yang saya sebut berulang-ulang itu mengindikasikan reputasi. Sebab reputasi merujuk kepada “bagaimana kualitas pribadi seseorang ‘dikenal’ oleh orang lain”. Selalu bersedia memudahkan urusan orang lain adalah salah satu kualitas yang mutlak harus dimiliki oleh siapa pun yang ingin memiliki reputasi yang baik. Mengapa? Karena reputasi kita dinilai oleh orang lain, bukan kita sendiri yang mengklaimnya. Apakah Anda ingin memiliki reputasi pribadi yang baik? Jika ya, maka mulailah dengan membiasakan diri untuk memudahkan urusan orang lain.

3.      Tetaplah menegakkan prosedur dan kedisiplinan.
Kadang-kadang kita suka menjerumuskan diri kedalam sudut pandang negatif. “Kalau kita memudahkan urusan orang lain berarti kita melanggar prosedur,” kita bilang. Kita berpikir begitu, mungkin karena kita belum bisa keluar dari kebiasaan buruk untuk melanggar prosedur. Padahal, memudahkan urusan orang lain tidak selalu harus melanggar prosedur. Justru untuk memudahkan urusan orang lain, kita harus menegakkan prosedur; baik yang tertulis maupun yang sudah menjadi norma umum. Misalnya, first come, first serve. Yang pertama datang, itulah yang dilayani. Atau mengacu kepada KPI. Misalnya, dokumen di meja kita harus segera keluar paling lambat dalam 1 hari. Semua permintaan disposisi dari departemen lain harus sudah selesai selambat-lambat dalam 3 hari. Justru dengan mengikuti prosedur itu kita bisa memudahkan urusan orang lain, karena prosedur dibuat untuk memudahkan urusan semua orang.  Jika ada orang yang menegur Anda karena menegakkan prosedur, Anda tidak akan pernah dipersalahkan.

4.      Gunakan judgement profesional dan buatlah pengecualian.
Prosedur di perusahaan tidak selalu bisa mengakomodasi situasi khusus. Orang-orang yang tugasnya berhubungan dengan pihak luar tahu benar tentang hal ini. Sayangnya, seringkali tidak dimengerti oleh orang-orang supporting function. Makanya, orang yang berhubungan dengan pihak luar sering tergencet diantara kewajiban untuk melayani pihak luar dengan kengototan membabi buta orang dalam. Jika Anda yang orang dalam itu, maka saya ingin mengajak untuk belajar menggunakan judgment profesional Anda. Kita bukanlah robot yang bekerja sesuai dengan ‘setelan’ program. Kita adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk menilai dan mengambil keputusan. Perhatikanlah jika teman Anda didepartemen lain meminta pengecualian pada kondisi khusus. Janganlah bersembunyi dibalik kata ‘prosedur’. Justru kengototan kita bisa merusak reputasi perusahaan. “Maaf Bung, prosedurnya 14 hari kerja,” misalnya. Gunakan kemampuan berpikir dan pengambilan keputusan Anda, maka Anda akan tahu bahwa; menyelesaikannya dengan lebih cepat menjaga reputasi perusahaan dimata pihak luar yang menjadi mitra bisnis atau pelanggan Anda. Lagipula, logika umum mengatakan bahwa dalam hal melayani berlaku hukum;”lebih cepat, lebih baik’. Maka gunakanlah judgment profesional Anda.

5.      Balaslah keburukan dengan kebaikan.
Ada juga orang yang menyulitkan orang lain karena mereka merasa kesal kepada orang itu. Misalnya, “orangnya jutek, ngapain saya mudahin!” Lho, yang jutek salah satu atau keduanya ya? Ada juga yang bilang;”Dia kebiasaannya mau cepat melulu, biar kita lambatin aja sekalian…” Ada lho orang yang berprinsip demikian. Mereka hanya memikirkan untuk ‘membalas’ orang yang tidak ‘cocok’ dengannya tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi orang-orang lain yang tidak kelihatan. Ketika kita membuat susah satu orang dikantor, mungkin efeknya terbawa ke rumah. Disana mungkin ada istri yang sedang hamil. Atau anaknya yang demam. Balita yang membutuhkan susu. Atau, mungkin ada anak yatim yang menantikan sesuatu. Kita tidak pernah tahu. Maka perlakuan buruk kita kepada orang yang tidak kita sukai itu telah salah sasaran. Dan kita jadi berdosa kepada mereka. “Tapi, saya tidak suka dengan cara orang itu menyuruh-nyuruh saya. Bos saya juga nggak gitu-gitu amat!” Apakah Anda pernah mendengar kalimat itu? Sounds familiar, ya. Hey, ingatlah bahwa kita hidup bukan untuk saling berbalas keburukan. Anda adalah orang baik. Maka janganlah ikut terseret untuk meninggalkan sikap dan perilaku baik. Bahkan jika orang lain melakukan keburukan kepada Anda. Balaslah keburukan mereka dengan kebaikan. Mengapa? Karena Anda adalah orang baik.

Memang tidak mudah untuk memudahkan urusan orang lain. Khususnya memudahkan mereka yang menurut penilaian kita sering menyulitkan kita. Sulit juga untuk memudahkan urusan orang yang suka meminta kita cepat-cepat. Tetapi, bukankah nilai diri kita meningkat semakin tinggi justru ketika kita bisa membuat mudah urusan mereka? Jika hati Anda masih terganjal oleh kedongkolan atas perilaku mereka yang hendak Anda mudahkan urusannya itu, barangkali nasihat dari guru kehidupan saya bisa menjadi bahan renungan. Beliau mengatakan;”Siapa saja yang selama hidupnya gemar memudahkan urusan orang lain, Maka Allah akan memudahkan segala urusannya di dunia dan diakhirat.” Oh, siapakah gerangan yang bisa memudahkan urusan kita secara sempurna selain Dia Yang Maha Kuasa? Maukah Anda dimudahkan urusannya oleh Tuhan? Jika demikian, belajarlah untuk memudahkan urusan orang lain

04 August 2011

Lebih suka Tebu atau Gula-nya....???? - DK


“Habis manis, sepah dibuang,” betapa pandainya para sepuh kita membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai sudah tidak berguna lagi disisihkan begitu saja. Kadang kita marah, kalau diperlakukan seperti sepah. Padahal, kita juga akan membuang sepah itu jika sudah tidak ada lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa korbannya saja. Kita tidak suka jadi korban, itu saja. Bukankah kita juga tidak ingin menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar adalah yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika kita sudah menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus menikmati rasa manis yang sudah tidak kita miliki lagi. Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih?

Meski bukan daerah penghasil gula, namun di rumah masa kecil saya terdapat rumpun-rumpun pohon tebu. Kami menggunakan parang untuk memotong batangnya, lalu mengupas kulitnya. Kemudian memotong batang tebu itu menjadi seukuran jari-jari telunjuk. Setelah itu? Kami mengungahnya. Rasa manis memenuhi mulut kami. Lalu tiba saatnya dimana kunyahan itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Di mulut kami sekarang hanya tertinggal ampas. Kami meludahkan ampas itu ke tanah. Benda tak berdaya diatas tanah itulah yang kita sebut sebagai sepah. Habis manis, sepah dibuang. Memangnya harus diapakan lagi sepah itu jika tidak dibuang? Kita sering menggambarkan hidup yang sudah tidak berguna sebagai sepah. Kita sadar jika sudah tidak berguna, tetapi masih ngotot untuk tidak dibuang. Itu mengindikasikan bahwa ini adalah saatnya untuk mengubah paradigma tentang hidup. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar memperbaiki paradigma hidup itu; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1. Jadilah pemanis kehidupan
Disekitar kita begitu banyak orang yang suka minum kopi. Tetapi, saya hampir tidak pernah mengenal orang yang minum kopi tanpa gula. Bahkan sekalipun kita menyebutnya ‘kopi pahit’, ternyata ya menggunakan gula juga. Mengapa gula selalu ada dalam setiap cangkir kopi yang disajikan? Karena gula membuat rasa pahit pada kopi terasa menjadi manis. Anda yang mengetahui rasa asli kopi tentu tahu jika sebenarnya kopi itu mirip arang. Karbon yang tersisa dari benda hangus. Makanya rasanya tidak benar-benar enak. Tetapi, ketika kedalam seduhan kopi pahit itu kita bubuhkan gula; tiba-tiba saja kita menikmatinya. Bahkan menjadikannya sebagai minuman favorit. Bayangkan jika kita bisa membuat rasa pahit kehidupan menjadi terasa manis. Tentunya kita tidak akan lagi harus disiksa oleh rasa pahit itu. Bahkan boleh jadi, kita menjadi penikmat rasa pahit itu. Kita bisa menari dalam deraan tantangan dan rintangan. Kita masih bisa tersenyum ditengah terpaan angin cobaan. Dan kita masih bisa bersyukur meski tengah berada dalam pahit getirnya cobaan hidup. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang mampu memaniskan kehidupan.

2. Jadilah pribadi yang manis, maka pasti selalu dikerubuti
Ditempat tidur saya tiba-tiba saja banyak sekali semut. Setelah diperiksa, ternyata ada sisa-sisa gula dari kue kering yang kami makan bersama anak-anak. Ternyata benar; ada gula, ada semut. Para semut tidak lagi memperdulikan lokasi dan situasi. Dimana ada gula, kesitulah mereka berbondong beriringan. Ini tidak hanya benar bagi para semut. Coba saja perhatikan orang-orang yang bisa memberi manfaat bagi lingkungannya. Para dermawan, selalu dikerubungi oleh para pengikut setianya. Para alim ulama dan orang-orang berilmu, selalu menjadi rujukan para pencari pencerahan. Siapapun yang bisa memberi manfaat kepada orang lain, bisa dipastikan selalu dibutuhkan oleh mereka. Kita? Sesekali orang lain itu mbok ya membutuhkan kita gitu loh. Tapi mengapa yang terjadi malah sebaliknya ya?  Mereka malah mengira seolah kita ini tidak ada. Sekalipun kita sudah menyodor-nyodorkan wajah kita. Tetap saja masih tidak mereka lihat. Sudah beriklan, bahkan. Tapi juga tidak ditanggapi. Barangkali, karena kita belum bisa menjadi pribadi yang manis bagi mereka. Karena sudah menjadi fitrah manusia untuk mengerubuti segala sesuatu yang terasa manis. 

3. Tetaplah manis, maka sepahmu tidak pernah dibuang
Mari berhenti untuk marah atau kecewa jika orang lain membuang kita karena mereka menilai kita sudah menjadi sepah. Mereka tidak salah. Kitalah yang harus berpikir bagaimana caranya supaya tidak menjadi sepah. Sebab jika kita masih tetap memiliki rasa manis itu, mereka tidak akan membuang kita, percayalah. Saya mengenal seorang eksekutif senior yang mumpuni. Setelah memasuki masa pensiun dari jabatanya yang tinggi, saya pikir beliau akan menjadi seperti ‘tebu-tebu’ yang lainnya. Ternyata saya keliru. Perusahaan kemudian memperpanjang masa kerjanya dengan system kontrak. Lalu beliau berpindah ke perusahaan lain. Lalu beliau ditarik lagi oleh perusahaan lainnya. Bagi saya, beliau inilah salah satu living legend mereka yang tidak pernah membiarkan dirinya ‘kehilangan rasa manis’. Meski usianya sudah jauh melampaui masa pensiun, beliau tetap manis. Rasa manis yang masih tetap lestari didalam dirinya itulah yang menjadikan beliau tetap menjadi rebutan perusahaan-perusahaan besar.  Jadi jika kita tidak ingin menjadi sepah yang dibuang, maka kita harus memastikan bahwa kita tetap menjadi pribadi yang manis.

4. Nikmatilah rasa manis secukupnya, tidak berlebihan
Sekarang, cobalah ambil sesendok gula terbaik yang Anda miliki. Lalu suapkan sesendok gula itu kedalam mulut Anda, dan kunyahlah. Apakah Anda masih menikmati rasa manisnya? Pada dasarnya, semua orang menyukai rasa manis. Namun, tak seorang pun bisa melahapnya terlalu banyak. Kita semua mendambakan manisnya kehidupan. Dan kita sering terlalu serakah untuk merengkuhnya sendirian. Bahkan gula pun mengajari kita bahwa terlalu banyak rasa manis membuat kepala kita pusing, bahkan kita bisa mengalami sindrom toleransi insulin. Sungguh keliru jika kita mengira hidup yang manis itu adalah yang semuanya serba indah. Tidak. Justru hidup yang terlalu indah cenderung menjadikan kita pribadi yang serakah. Semacam sindrom toleransi insulin kehidupan. Tidak peduli betapa banyak insulin yang diproduksi dalam tubuh Anda, gula akan tetap menumpuk dalam darah Anda. Tahukah Anda apa yang terjadi ketika dalam darah kita terdapat lebih banyak gula dari yang seharusnya? Hmmmh, Anda tentu paham yang saya maksudkan. Bahkan rasa manis kehidupan yang terlalu banyak pun bisa membahayakan kehidupan diri Anda sendiri. Maka nikmatilah rasa manisnya kehidupan, namun tidak perlu berlebihan.

5. Semanis apapun kita, tidak bisa lepas dari fitrah
Sepah di kebun tebu kami jumlahnya tidak terlalu melimpah. Namun jika dibiarkan tetap saja menjadi sampah. Kami punya banyak pilihan untuk memperlakukannya. Jika kami membuangnya ke kolong kandang domba, maka sepah itu akan menambah nutrisi pada pupuk kandang yang kami dapatkan. Jika kami membuangnya ke kolam ikan, maka dia akan menjadi tempat tumbuhnya plankton dan jentik-jentik makanan penggemuk ikan. Jadi, apanya yang terbuang dari seonggok sepah? Tidak ada. Sepah benar-benar menyadari bahwa dia tidak bisa melawan fitrah. Semua orang yang pernah muda akan menjadi tua. Semua yang gagah perkasa akan menjadi tak berdaya. Semua yang kuat menjadi lemah. Itulah fitrah. Tetapi mari sekali lagi kita lihat sang sepah. Bahkan setelah masuk tempat sampah, dia tetap saja menjadi anugerah. Jika kita ikut mengimani konsepsi hidup setelah mati, maka kita lebih beruntung lagi. Karena dengan keyakinan itu kita kita bisa berharap memetik buah manis tabungan kebaikan yang pernah kita lakukan semasa hidup. Kita boleh berharap itu, karena iman kita mengajarkan bahwa setiap amal baik yang pernah kita lakukan atas nama Tuhan, akan membuahkan imbalan yang sepadan. Beruntunglah kita yang percaya, karena setidak-tidaknya kita memiliki harapan; bahwa fitrah kita adalah untuk mempersiapkan tempat pulang alam keabadian.

Tidak perlu lagi untuk merasa kecewa karena telah dihempaskan oleh lingkungan yang Anda harapkan memberikan penerimaan. Mungkin mereka benar telah menghempaskan kita karena kita belum bisa memberi rasa manis yang mereka butuhkan. Mungkin juga mereka keliru karena tidak bisa menghargai rasa manis yang kita miliki. Tetapi, bukan itu yang perlu menjadi fokus perhatian kita sekarang. Cukuplah untuk selalu memikirkan, bagaimana caranya agar kita bisa memberikan lebih banyak lagi rasa manis? Karena dengan rasa manis yang kita tebarkan, kita tidak perlu meneriaki para semut untuk mengerubuti. Insya Allah, cepat atau lambat; mereka akan datang sendiri.

02 August 2011

Terbang Bersama Layang-Layang - DK

“Biarkan hidup mengalir seperti air,” begitulah nasihat yang sering kita dengarkan. Namun, ada kalanya aliran air tidak membawa kita ke tempat yang semestinya. Maka mulailah kita mempertanyakan banyak hal. Sewaktu dihadapkan pada situasi sulit, kita mempertanyakan; mengapa Tuhan membiarkan saya mengalami ini? Saat dituntut untuk mengikuti aturan, kita menggugat; mengapa saya tidak diberi kebebasan? Ketika mengalami kehilangan, kita menghujat; mengapa saya tidak bisa memilikinya selamanya? Kadang kita merasa bosan mengikuti aliran air, sehingga kemudian kita bertanya; bisakah kita terbang saja?

Salah satu mimpi masa kecil yang sering hadir dalam tidur saya adalah saat bermain layang-layang. Tadi malam pun saya memimpikan hal itu lagi. Pagi ini saya bertanya-tanya, mengapa saya sering memimpikan tentang layang-layang? Saya tidak bisa melepaskan diri dari pertanyaan itu meski telah berusaha untuk melupakannya. Di kamar mandi, di ruang tivi, di depan komputer. Kepala saya hanya dipenuhi oleh pertanyaan;’mengapa harus bermimpi tentang layang-layang?” Saya belum benar-benar terpuaskan hingga menemukan bahwa layang-layang menyembunyikan berbagai isyarat tentang kehidupan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar terbang bersama sang layang-layang; saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:

1.      Untuk bisa terbang tinggi kita membutuhkan tempaan  
Layang-layang hanya bisa terbang jika ada angin yang menerpanya. Coba ingat-ingat kembali, bukankah sewaktu kecil dulu Anda kecewa jika disore hari tidak ada angin untuk menerbangkan layang-layang Anda? Hidup kita kira-kira juga demikian. Angin yang bertiup kencang itu tidak ubahnya dengan terpaan yang menempa hidup kita. Kita sering mengira bahwa kehidupan yang serba tenang itu jauh lebih baik. Lebih nyaman mungkin iya. Tetapi lebih baik? Belum tentu. Justru dalam kehidupan yang serba tenang dan nyaman, kita tidak terdorong untuk mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki. Bayangkan ketika segala sesuatunya dalam hidup Anda sedang baik-baik saja. Bukankah Anda tidak tertarik untuk berkeringat lebih banyak? Padahal, boleh jadi dengan berkeringat itulah justru kegigihan diri Anda semakin teruji. Rasa syukur Anda tergali. Dan nilai empati Anda kepada orang lain menjadi semakin tereksplorasi. Layang-layang membutuhkan terpaan angin untuk bisa terbang tinggi. Kita, membutuhkan tempaan dan ujian kehidupan untuk bisa naik kepada tingkatan nilai pribadi yang lebih tinggi. Maka saat memasuki masa-masa yang penuh dengan ujian dan cobaan, mungkin kita perlu lebih banyak bersyukur. Karena kita punya kesempatan untuk bisa terbang lebih tinggi.

2.      Untuk bisa bertahan kita membutuhkan kendali dan aturan 
Apa yang terjadi jika benang itu terputus? Layang-layang Anda akan hilang, bukan? Dia membutuhkan benang yang mengikatnya untuk bisa terbang dengan baik. Benang yang mengendalikan dan memberinya arah untuk berbelok ke kanan, ke kiri, atau bahkan berputar. Pendek kata, layang-layang itu membutuhkan alat pengendali yang mengaturnya. Bayangkan jika hidup kita dibiarkan tanpa kendali. Kita mengira bisa terbang bebas? Tidak. Justru kita membutuhkan sesuatu yang mengendalikan hidup kita. Sistem nilai, tatanan sosial, struktur kemasyarakatan, atau seperangkat peraturan yang mesti kita patuhi. Keliru jika kita mengira hidup akan lebih baik tanpa aturan. Mengapa? Karena orang-orang kuat cenderung bernafsu untuk mengambil keuntungan paling banyak. Sedangkan orang-orang lemah cenderung diinjak-injak. Tanpa aturan, kita cenderung bertindak sesuka hati. Yang penting tujuan kita tercapai. Perhatikan kembali layang-layang yang talinya terputus itu. Apakah dia terbang makin tinggi? Mungkin. Ketika angin memihak kepadanya. Tetapi setelah angin berhenti bertiup, dia akan jatuh tanpa ada yang memperdulikannya lagi. Seperti itulah hidup kita, jika tanpa kendali dan aturan.

3.      Hidup adalah tentang menarik atau mengulur
Apa asyiknya bermain layang-layang jika dia hanya dibiarkan diam. Kenikmatannya justru kita rasakan ketika kita menarik dan mengulur benang nilon yang mengikat layang-layang itu. Dengan tarikan itu dia bisa berbalik arah atau melakukan manuver-manuver yang mengagumkan. Lalu kita ulur lagi, tarik lagi, dan ulur lagi. Kadang dia menjauh, kadang mendekat lagi. Hidup kita tampaknya juga begitu. Ada begitu banyak hal dalam hidup kita yang pergi menjauh. Kita sering sedih karenanya. Ada banyak hal lain yang datang mendekat. Kita sering merasa berat menerimanya. Padahal hidup memang tentang mendekat dan menjauh. Datang dan pergi. Timbul dan tenggelam. Begitulah hidup yang sesempurna-sempurnanya. Yaitu hidup yang memiliki kelengkapan dinamika yang dimainkannya. Tidak ada orang yang hidupnya bahagia terus, percayalah. Bahkan mereka yang hartanya melimpah ruah. Warna dalam kehidupan tidak didapatkan dari kehidupan yang serba nikmat. Faktanya, kenikmatan yang kita miliki sering kehilangan makna jika kita tidak pernah tahu ‘tidak nikmat’ itu seperti apa. Sesuap nasi yang kita kunyah, akan terasa lebih nikmat jika kita baru saja merasakan betapa perihnya tidak memiliki makanan. Nikmat sehat tubuh ini justru mulai benar-benar kita sadari setelah kita diberi sakit. Keindahan hidup terletak pada kombinasi tarik dan ulur itu.

4.      Belajar untuk terbang dalam keindahan
Dulu, bentuk layang-layang tidak terlalu banyak. Variasinya paling-paling pada sirip dan ekornya yang ditambahi asesoris lebih panjang. Sekarang, kita bisa melihat layang-layang dalam kreasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Ada yang berupa pesawat terbang, naga, bahkan kapal pesiar. Banyak hal baru disekitar kita. Kita sering tidak menyadari jika orang-orang disekitar kita terus berkreasi tanpa henti. Kita sering merasa semua yang ada pada diri kita sudah menjadi yang terbaik, padahal kita tidak memperhatikan kemajuan seperti apa yang telah berhasil diraih oleh orang lain. Pergilah ke festival layang-layang. Disana akan Anda temukan berbagai macam kreasi yang mencengangkan. Pergilah ke komunitas yang berisi orang-orang kreatif, maka kita akan menyadari bahwa kita harus lebih kreatif lagi. Bertemulah dengan orang-orang baik, maka kita akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Mereka bukan sekedar mengajak kita untuk terbang, melainkan mengajarkan bagaimana caranya untuk terbang dalam keindahan perangai, dan perilaku positif lainnya.

5.      Terbangkan layang-layangmu setinggi-tingginya
Saat bermain layang-layang, kita selalu ingin menerbangkannya setinggi mungkin. Kita biarkan mereka naik menuju ke langit tertinggi. Semakin tinggi, semakin baik. Mengapa begitu? Karena sudah menjadi sifat dasar kita untuk menyukai sesuatu yang bernilai tinggi. Kualitas tinggi. Daya juang tinggi. Nilai-nilai pribadi yang tinggi. Akhlak dan moral yang tinggi. Bahkan kita menyebut perilaku manusia yang menyerupai binatang sebagai moral yang rendah. Mengumbar nafsu. Tidak tahu malu. Serakah. Semuanya tidak cocok dengan cetak biru kepribadian kita. Secara inheren kita memahami bahwa manusia diciptakan dengan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan mahluk lainnya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya jika perilaku dan tindak tanduk kita mencerminkan hal itu. Jika kita tergoda untuk melakukan perbuatan ‘mirip binatang’, ingatlah bahwa kita diciptakan dengan derajat yang lebih tinggi dari mereka. Pantas jika kita belajar membebaskan diri dari perilaku dan nafsu hewani. Karena Tuhan, telah menciptakan kita dalam derajat dan tingkatan yang jauh lebih tinggi. Pantasnya, dengan semua ketinggian yang sudah Tuhan anugerahkan itu, kita bisa belajar untuk semakin mempertinggi nilai kemanusiaan kita. Karena Tuhan itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Dan Dia, hanya bisa dicapai oleh pribadi-pribadi yang memiliki akhlak mulia yang tercermin dalam perilakunya yang bernilai tinggi.  

Setiap hari, kita berhadapan dengan tempaan dan terpaan angin kehidupan. Kita sering ingin berhenti karena jengah menghadapi cobaan yang datang bertubi-tubi. Padahal, cobaan yang kita hadapi itu adalah jalan menuju kepada tingkatan nilai pribadi yang lebih tinggi. Guru kehidupan saya pernah mengingatkan;”Janganlah engkau mengira dirimu sebagai orang yang baik, padahal Tuhan belum mengujimu dengan cobaan-cobaan yang menyulitkan.” Guru saya benar. Betapa mudahnya untuk menjadi baik ketika keadaan sedang serba indah. Namun, cobalah sesekali membayangkan seandainya kehidupan kita tidak sebaik itu. Apakah kita bisa menjadi pribadi yang juga baik? Semoga kita dapat menjalani setiap ujian dan cobaan hidup dengan sebaik-baiknya. Dan kita lulus untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi.