sarikata

ketika sang waktu tidak lagi bersahabat, gunakan hati untuk bermain dengan hari

03 December 2016

Waspada Terhadap Lahirnya Generasi Bodoh

Waspada terhadap lahirnya generasi bodoh. Saat ini teknologi multimedia semakin berkembang pesat, tidak lagi perhitungan tahun atau bulan untuk hal yang baru. Perkembangan dan pengenalan produk teknologi baru bahkan sudah terhitung minggu atau mungkin hari, meskipun itu sesungguhnya tidak sepenuhnya hal yang baru atau murni ide dari yang mengenalkan produk tersebut.

Namun yang mesti kita waspadai dari semua itu adalah generasi-generasi di sekitar kita yang akan jadi penerus kita kelak. Mereka seperti generasi tanpa jiwa atau hasrat, selalu terpaku dan tergantung dengan teknologi informasi. Seolah tiada waktu yang terlewatkan mereka selalu bersama, anak-anak kita dan teknologi informasi beserta medianya seperti saudara atau sahabat karib yang tak terpisahkan. Dan ironisnya banyak diantara kita yang tidak menyadari bahaya ini, dimana teknologi ini menjadikan anak-anak atau generasi kita tidak lagi memiliki jiwa atau hasrat akan sesuatu disekitar mereka, rasa peduli merekapun perlahan dan pasti tergerus.

Ditambah lagi sudah kita ketahui bersama bahwa saat ini setiap sekolah ataupun lembaga pendidikan lainnya (formal/informal) berlomba-lomba meluluskan anak didiknya dengan nilai yang sangat melambung tinggi, bahkan mungkin nilai 9 atau 10 sudah tidak aneh lagi bagi kita dan berceceran, bukan lagi menjadi angka yang wow.

Siapa yang akan menyangkal anak yang memiliki nilai 9 atau 10 itu adalah seorang anak yang pintar, jelas dia anak yang pintar. Pintar dari sisi informasi atau penguasaan materi yang diajarkan di lembaga pendidikan, sangat jelas dan tanpa bisa dipungkiri. Mereka akan mampu menjawab setiap soal yang diberikan, tentunya soal yang materinya sudah pernah disampaikan ke mereka.

Namun apakah cukup hanya kita bentuk generasi yang bisa meraih angka tinggi dan masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal terbaik atas kualitasnya. Apakah kira-kira jawaban kita?

Generasi yang memiliki nilai tinggi tidak lebih dari sebuah buku diktat yang telah ditulis, karena mereka tahu semua materi yang telah diajarkan seperti kita menuliskan materi itu diatas sebuah kertas putih yang sudah kita bukukan. Sebuah buku yang penuh dengan materi dan informasi, tetaplah sebuah buku yang tidak bisa dengan sendirinya mengembangkan atau menerapkan apapun yang tetulis di setiap lembar halamannya. Dan tragisnya saat ini makin sering kita temukan generasi yang tidak lebih layaknya sebuah buku atau sebuah benda atau robot. Mereka hanya generasi yang bisa bekerja bila ada perintah atau logika yang diberikan ke mereka, tanpa perintah atau logika yang kita berikan, mereka seperti linglung dan kebingungan tidak tahu akan melakukan apa. Sekarang apakah kita masih bisa menggolongkan mereka yang memiliki angka tinggi dan lulusan dari lembaga pendidikan terbaik dalam kualitas, termasuk generasi yang pintar?

Menurut saya belum, apakah anda sependapat? Karena mereka hanya masih mengetahui semua teori, tapi mereka tidak tahu apakah gunanya teori yang mereka ketahui dan mereka tidak tahu cara menerapkan teori tersebut tanpa adanya sebuah perintah atau logika yang mereka terima.

Iyyaaa... Sistem nilai kita sudah bergeser, nilai iman,sosial dan budaya sudah bukan lagi utama. Rasa peduli, rasa empati, rasa hormat dan kebersamaan sudah tergerus oleh kepentingan pribadi yang bersifat materialis. Bahkan nilai-nilai sosial dan agama menjadi traumatic tersendiri bagi mereka.

Yang membuat merinding adalah kita melakukan pembiaran itu terjadi dan berjalan dari saat anak-anak kita di usia dini. Kita biarkan mereka bergantung sama multimedia, bahkan kalo kita tanya pada diri kita pribadipun, bila kita tidak tahu tentang sesuatu hal kita akan langsung search di Internet, seperti yang ngetrend saat ini "tanyain aja ke mbah Google". Dimana teknologi informasi itu membuat kita bergantung kepada mereka dan tidak sedikit yang menganggap teknologi itu canggih dan lebih pintar dari kita.

Begitupun dengan generasi-generasi kita sudah mulai bergantung terhadap teknologi informasi tersebut dan bahkan mereka menempatkan dirinya lebih bodoh dari produk teknologi informasi tersebut. Seolah tanpa teknologi informasi tersebut mereka hampir tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka tidak sadar bahwa teknologi informasi itu tidak akan mampu berbuat apa-apa tanpa mereka, seolah mereka menempatkan teknologi informasi itu sebagai manusia dan mereka sendiri menjadi robot yang hanya bisa bergerak bila ada teknologi itu, yang layaknya seperti budak.

Kapan kita akan lepaskan teknologi informasi itu dan tidak lagi tergantung dengannya, kapan kita mulai biasakan generasi kita untuk mulai bergerak dengan hal-hal kecil yang memicu tanggung jawab dan kreatifitas mereka atas sebuah situasi.

Akankah kita biarkan generasi kita menjadi generasi yang pasif, akankah kita biarkan generasi kita menjadi generasi yang tidak mampu mandiri, akankah kita biarkan generasi kita menjadi generasi yang egois.

Mungkinkah sistem pembentuk generasi kita yang saat ini mulai bergeser ke sistem pengajaran, kembali ke sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang mampu membentuk manusia sempurna seutuhnya, sebuah generasi yang mampu berpikir secara mandiri, kreatif, empatif dan peduli pada sekitarnya. Sebuah generasi yang memiliki kepribadian.

Sistem pendidikan tidak hanya di lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri, namun keluarga memiliki peran yang sangat besar disini. Bisakah kita kurangi rasa kekhawatiran terhadap anak kita, agar mereka lebih berani dan mandiri. Bisakah kita tidak harus penuhi semua permintaan atau hak mereka secara berlebihan, agar mereka lebih kreatif dan solutif. Sanggupkah kita saat ini melihat mereka mengatasi kesulitan mereka sendiri, agar mereka menjadi generasi yang tangguh dan pantang menyerah. Ibarat sebuah kelapa, biarkan generasi kita nantinya menjadi santan dengan kualitas yang tinggi yang keluar dari berbagai macam tekanan dan belajar akan banyak hal secara mandiri, kreatif mencari solusi, serta tak mudah menyerah mencari hal (jalan keluar) terbaik bagi masa depan mereka yang pastinya lebih banyak tantangan dibanding kita saat ini.

Rasa kasih dan sayang kita yang berlebihan, telah menimbulkan rasa khawatir yang berlebih dan selalu mengikuti kemauan generasi kita. Dan tanpa sadar kita bentuk mereka menjadi generasi pasif dan tidak mandiri, maukah anak kita termasuk golongan generasi bodoh yang tidak sanggup memimpin dirinya sendiri? Selalu waspada terhadap lahirnya generasi bodoh yang hidup seperti robot atau benda mati...

25 April 2016

ketika tangan kanan tidak lagi mampu bersembunyi




Riya’ atau pamer, tanpa kita sadari saat ini sering kita lakukan dan tanpa kita sadari menimbulkan kesombongan pada diri kita ataupun rasa iri bagi orang di sekitar kita. Ketika tangan kanan sudah tidak bisa lagi sembunyi dari tangan kiri maka disaat itulah akan makin terseret kita ke dunia materialis dan kejahatan akan semakin marak, karena banyak orang yang merasa kekurangan ditengah harta yang melimpah di sekelilingnya. Setidaknya itulah hal yang pernah terpikirkan saat saya diskusi dengan seorang sahabat puluhan tahun silam.

Bermula dari pembicaraan sembunyikan amalan, jangan sampai tangan kiri tahu apa yang tangan kanan lakukan. Dengan sebuah kisah tauladan Abu Amru bin Nujaid yang memberikan ke rakyat negeri yang sedang krisis dan kelaparan melalui Abu Utsman  Al Hirri.

Abu Amru melalui Abu Ustman memberikan 1.000 dinar untuk membantu krisis di negerinya. Karena sangat gembiranya Abu Utsman mengumpulkan majelis yang juga dihadiri Abu Amru dan Abu Ustman mengatakan, “Wahai saudara-saudaraku, aku mengharap agar Abu Amru memperoleh balasan besar, karena ia telah mewakili beberapa orang dalam ribath (melakukan penjagaan) dan telah memberi bantuan sekian-sekian…

Begitu Abu Utsman selesai bicara,mendadak  Abu Amru berdiri dan berkata, Sesungguhnya uang yang saya berikan adalah harta ibu saya dan beliau tidak ridha, maka mestinya uang tersebut dikembalikan kepada saya untuk saya kembalikan kepada beliau…”

Seketika semua yang hadir di majelis kaget, terlebih Abu Utsman yang tidak menyangka Abu Amru akan bicara begitu. Seketika itu juga Abu Utsman mengembalikan kantong berisi uang tersebut ke Abu Amru dan seluruh yang hadir di majelis bubar.

Namun pada malam harinya Abu Amru kembali datang ke rumah Abu Utsman membawa uang itu kembali dan berkata, Anda bisa memanfaatkan harta ini untuk keperluan seperti kemarin, dan tidak ada yang tahu akan hal ini kecuali kita”

Itulah penggalan kisah tauladan upaya Abu Amru yang menyembunyikan amalan kebaikannya, meskipun mungkin banyak orang yang telah kecewa dengan tindakan yang dia lakukan sebelumnya.

Namun yang sering kita lihat saat ini, makin banyak saudara-saudara kita atau bahkan kita sendiri, entah sadar atau tidak kita telah melakukan riya dan kesombongan demi kesombongan seiring berkembangnya sosial media dan katanya era keterbukaan.

Sudah menjadi hal yang wajar saat kita pergi ke suatu tempat dan kita selfi dengan latar belakang tempat dimana kita berada. Misal selfi dengan latar belakang Menara Eiffel, tanpa kita sadari itu menjadi motivasi orang untuk datang kesana dengan cara yang tidak halal dan atau membuat orang menjadi rendah diri dan minder karena kemampuannya.

Atau juga kita selfi dengan tempat makan dan makanan yang terhidang dan nampak enak atau mahal, yang tanpa kita sadari tidak semua orang yang melihat itu bisa makan ditempat seperti itu. Jangankan makan seperti yang kita makan, untuk makan layakpun dengan lauk dan 3 kali seharipun belum tentu mereka mampu.

Atau ada juga hal yang lucu, bahkan ibadahpun dijadikan update status di sosial media. Misal seperti, “lagi baca qur’an sambil balas sms ayang…”, atau
“puasa senin, jangan ajak makan siang dulu yaa…”, atau
“ini balas wa sambil yasinan”, dan banyak lagi yang lainnya

Ketika tangan kanan sudah tidak bisa lagi mampu menyembunyikan dirinya dari tangan kiri kita, disaat itulah sesungguhnya kita tekah jadi insan yang sombong dan selalu ingin dilihat atas semua yang kita lakukan.

Meskipun semuanya berbalik dari niat hati individu masing-masing, namun ada baiknya kita berpikir ulang kembali setiap apa yang akan kita lakukan. Apakah itu akan membawa manfaat atau mudharat bagi kita dan bagi orang lain. Di saat dunia informasi makin terbuka dan makin berkembangnya sosial media, kita harus lebih bisa memilah dan berpikir akibat dari apa yang akan kita lakukan.

Semoga semua tindakan, tingkah laku, langkah dan pemikiran kita akan menjadi sedekah bagi setiap orang-orang di sekitar kita. Karena sedekah sekecil apapun yang kita lakukan dengan ikhlas akan menjadikan manfaat bagi kita dan yang menerimanya, seperti tercantum dalam Al Baqarah ayat 271 yang artinya "Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahanmu...."

22 April 2016

ketika kita ingin jadi diri kita sendiri



Ketika kita menginginkan diri menjadi diri kita sendiri, disaat itu sesungguhnya kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri. Karena sebenar-benarnya kita telah menjadi diri sendiri adalah disaat kita bukan lagi diri kita sendiri.

Saat ini kita selalu disibukkan kita ingin menjadi apa, sibuk mencari jati diri kita dan siapa sebenarnya diri kita serta apa yang kita cari. Dimana saat semakin kita bersikeras mencari keberadaan diri kita, maka ke-aku-an yang akan melingkupi kita. Seperti kita ingin menjadi orang yang sabar, orang yang murah hati, atau orang yang terpandang dan titel material lainnya yang mungkin ingin kita sematkan di diri kita serta diakui oleh orang-orang sekitar kita. Maka disaat itu kita tidak akan pernah menjadi diri kita sendiri.

Namun sesungguhnya kita ini bukan apa-apa atau siapapun. Jangankan hal lain yang melekat pada diri kita, bahkan ruh dan tubuh kitapun bukan milik kita. Ruh kita adalah milik Allah SWT dan badan kita akan kembali melebur dengan bumi, yang mana sesungguhnya rangkaian ruh dan tubuh kita tersusun serta bekerja atas sunnatullah atau rangkaian ayat-ayar Allah yang tidak tertulis.

Dan sesungguhnya kita hanyalah susunan waktu yang perlahan dan pasti akan tergerus oleh waktu. Kita tidak pernah ada, yang nampak hanya wujud semu dan yang sesungguhnya kita adalah ketiadaan. Kita hidup untuk hidup, kehidupan yang kita jalani saat ini bukanlah kehidupan yang sesungguhnya dan ketiadaan saat ini yang nantinya akan jadi kehidupan yang sesungguhnya.

Disaat kita melakukan sesuatu dengan berharap menjadikan kita sesuatu, maka itu tidak akan menjadikan kita apapun untuk sesuatu itu. Lalu bagaimana kita semestinya untuk menjadi diri kita sendiri? Lihatlah air yang selalu bisa menempatkan dirinya dan menyesuaikan dirinya sesuai dengan bentuk tempatnya, lihatlah udara yang selalu bisa menyesuaikan dirinya dan memenuhi setiap ruang yang kosong. Seperti itulah kita semestinya, kita bisa meniru air ataupun udara yang selalu bisa menempatkan dirinya pada setiap tempat dan ruang, serta mereka bisa membuat tempat dan ruang itu secara keseluruhan merasakan kehadiran mereka.

Kita sejak dini selalu ditemukan dengan hal, berbuatlah sesuatu agar menjadi sesuatu. Seperti belajarlah agar kita pintar, kalo pintar kita akan mendapatkan nilai bagus, kalo mendapatkan nilai bagus akan jadi juara kelas, kalo juara kelas akan dapat beasiswa dan seterusnya dan seterusnya dan tidak akan pernah ketemu ujungnya dimana kita dan apakah kita sudah menjadi diri kita. Dimana pola pikir diatas tidak akan menjadikan kita manusia yang bersyukur dan akan menjadikan manusia egois, yang tidak akan ada batas akhirnya

Bagaimana jika pola berpikirnya berubah, belajarlah untuk menjadi pintar, kalo pintar kita bisa tularkan ilmu kita, kalo pintar kita bisa memberikan manfaat pada lingkungan kita, kalo pintar kita bisa jaga lingkungan kita. Bilamana pola pikir ini dikembangkan terus, maka kita akan seperti udara yang selalu akan masuk disetiap rongga atau ruang yang ada. Dan keberadaan kita akan dirasakan dimana saja, disitulah sesungguhnya diri kita. Karena sesungguhnya ruh yang ada di diri kita adalah milik Allah SWT, dan diri kita tidak akan pernah ada tanpa senyum, kebahagiaan ataupun binar kegembiraan insan-insan di sekitar kita.

28 January 2016

mungkin kita butuh cermin yang lebih besar



Mungkin kita butuh cermin yang lebih besar untuk melihat diri kita dan bayangan kita sendiri, agar kita bisa melihat dengan lebih jelas tentang diri kita.

Seringkali kita merasa iri dengan kesuksesan orang lain, tak jarang pula kita cemburu dengan kebahagiaan ataupun ketenangan orang lain. Mungkin juga kita merasa iri atas keempurnaan yang dimiliki orang-orang disekitar kita.

Tak jarang juga kita merasa sedih atas setiap kegagalan yang menghampiri kita, atau kita kecewa atas ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan yang kita hadapi. Sering juga kita merasa sakit atas kata-kata ataupun perbuatan yang dilakukan orang-orang terhadap kita.

Semua itu akan terjadi bila kita lalai atau ingkar terhadap kebenaran demi kekhawatiran atas apa yang telah dijamin-NYA.  Allah SWT tidak akan pernah mengurangi ketetapan terhadap umatnya, semua kekhawatiran itu tidak lebih karena kita yang masih mengkhufuri atas nikmat-NYA.

Namun apakah kita sudah memiliki rasa ikhlas dan rasa syukur pada diri kita dengan berdasarkan keyakinan dan iman kita.

Sadarkah bila rasa ikhlas akan membuat kita bisa menikmati atas segala kekurangan menjadi sebuah kelebiihan atas diri kita, selalu berusaha tanpa keluh kesah dan memberatkan pihak lain. Dan rasa ikhlas juga akan membuat kita bisa menikmati atas segala cobaan dan kepedihan menjadi sebuah kekuatan dan kebahagiaan yang tiada batas.

Serta rasa syukur akan membuat kita menjadi insan yang kuat dan kekuatan itu dipenuhi dengan keberuntungan serta kesempurnaan, karena sesungguhnya di dunia yang demikian luas ini masih ada yang belum seberuntung diri kita dengan segala kekurangan yang mereka miliki.

Sekali lagi Allah SWT tidak akan ingkar atas ketetapan terhadap umatnya.

Yang sangat keliru pada saat ini adalah setiap tenaga ataupun jerih payah kita selalu dikonversikan dengan hasil kerja atau rejeki yang kita terima. Karena saat ini kita masih terus ditekankan dengan istilah take and give, sebuah budaya materialis yang membuat kita menjadi insan yang tidak ikhlas dan menjadi insan tidak produktif dengan hasil yang jauh dari sempurna.

Karena sesungguhnya kerja adalah ibadah, sedangkan rejeki itu adalah dari Allah SWT 
( baca : give generation, http://goo.gl/pURv1W )

Sesungguhnya hakikat rejeki bukan apa yang tertulis dalam angka, tapi apa yang telah kita nikmati. Dan sesungguhnya kebahagiaan bukanlah sebuah kesenangan yang menyenangkan hati kita,  tapi menikmati apa yang telah terima dan menjadikan kita bahagia karena apa adanya diri kita.

Apakah kita butuh cermin lebih besar saat kita merasa kurang beruntung. Karena sesungguhnya masih banyak orang lain yang tidak seberuntung kita dan kita telah khufur atas nikmat yang kita terima.

Apakah kita butuh cermin yang lebih besar saat kita merasa sakit karena orang lain. Mungkin sesungguhnya kitalah yang telah menyakitinya, sehingga sikapnya balik terasa menyakiti diri kita.

Apakah kita butuh cermin yang lebih besar saat kita merasa sedih. Karena sesungguhnya kebahagiaan itu tidak berasal dari manapun, kecuali dari rasa syukur dan rasa ikhlas kita atas segala nikmat di diri kita.