"Kesempurnaan manusia tidak
semata-mata terletak pada akalnya saja, melainkan juga kalbunya. Maka
kesempurnaan hidup hanya bisa dicapai jika seseorang memiliki
keseimbangan dalam penggunaan akal dan kalbunya.”
“Kamu itu Hitachi, Nak.” Begitu saya katakan kepada anak saya.
“Hitam, Tapi China.” Baru kemarin saya ingatkan lagi tentang hal itu
dalam perjalanan kami menuju ke Bandara. Berkaitan dengan Imlek? Tidak
juga. Namun meski tidak merayakannya, saya selalu terkesan pada salah
satu falsafah kuno Chinese yaitu, Yin dan Yang. Kita selalu diingatkan
untuk menyeimbangkan segala sesuatu. Namun, keseimbangan itu seperti
apa? Apakah seperti timbangan yang punya bobot sama di kiri dan kanan
kedua kompartemennya? Tidak juga. Jika Anda masih ingat symbol Yin-Yang,
maka Anda akan lebih mudah memahami makna kesimbangan itu.
Misal symbol Yin-Yang itu kita
menggambarkan kesimbangan antara Akal dan Kalbu. Menurut pendapat Anda,
mana yang lebih penting: Akal atau Kalbu?
Ada masa dimana kita mendewakan kekuatan akal. Orang yang paling
encer otaknya diberi nilai lebih. Ada pula periode dimana kita
mengagung-agungkan kalbu. Siapa yang paling baik pengelolaan
emosional-spiritualnya digadang-gadang sebagai pribadi yang mumpuni.
Tidak heran jika penganut kecanggihan IQ tidak juga sejalan dengan para
pengusung kehebatan EQ dan SQ. Kenyataannya, manusia diciptakan dengan
Akal dan Kalbu yang saling menyatu secara utuh. Maka, mulai sekarang;
marilah memperlakukan diri kita sendiri secara utuh pula. Kita tidak
bisa terus menerus mendiskreditkan salah satu dari kekuatan akal atau
kalbu itu. Kesempurnaan hidup itu hanya bisa dicapai jika seseorang
memiliki keseimbangan dalam penggunaan akal dan kalbunya. Karena
kesempurnaan manusia tidak semata-mata terletak pada akalnya saja,
melainkan juga kalbunya.
Keseimbangan antara Akal dan Kalbu inilah sebenarnya yang menjadi inti dari Natural Intelligence.Tidak
mungkin manusia mencapai puncak dari kualitas penciptaan dirinya tanpa
memaksimalkan kapasitas akal dan mengoptimalkan potensi kalbunya.
Makanya, tidak heran jika kita sering melihat orang yang pandai dalam
mengambil keputusan. Jago berbicara dalam setiap persidangan. Namun
kata, perilaku, dan buah dari tindakannya jauh dari ciri pribadi yang
memiliki nurani. Atau sebaliknya, banyak juga orang yang terlihat
sedemikian salehnya. Namun, sangat tidak kompetitif.
Kebutuhan kita dalam menyimbangkan Akal dan Kalbu berlaku untuk semua
aspek kehidupan. Karena tidak ada satu aspek pun dalam hidup kita yang
terlepas dari peran akal, dan peran kalbu. Mendahulukan akal, tidak
berarti mengabaikan kalbu. Sebaliknya, mendahulukan kalbu tidak berarti
menihilkan fungsi akal. Keduanya harus dipakai. Mungkin hanya porsinya
saja yang berbeda bergantung konteksnya. Seberapa banyak porsi akal dan
porsi kalbu yang tepat? Anda bisa menakarnya melalui symbol Yin dan
Yang. Disana Anda bisa tahu, kapan saatnya Anda harus menggunakan Akal
lebih banyak dari Kalbu atau sebaliknya. Atau, pada kondisi tertentu
keduanya digunakan dalam proporsi yang sama
Kenapa sih untuk seimbang kita tidak menggunakan prinsip timbangan
saja? Kiri kanan 1 kg pasti seimbang? Tidak bisa. Karena timbangan hanya
menggunakan pertimbangan akal yang eksak. Prinsip timbangan
menghasilkan kesetimbangan statis (Static Equilibrium). Sedangkan
prinsip Yin & Yang menjelaskan tentang Kesetimbangan Dinamis
(Dynamic Equilibrium) yang menjaga ‘keseluruhan energi’ (universal
wholeness) dimana didalamnya memungkinkan kita untuk meramu Akal dan
Kalbu dalam proporsinya masing-masing. Ketika kita bisa menggunakan Akal
dan Kalbu secara seimbang dan dinamis itu, tidak berarti kita selalu
menggunakan keduanya sama banyaknya. Melainkan sesuai dengan tuntutan
untuk menghasilkan keputusan atau pertimbangan terbaik. Bukan untuk
dunia saja. Melainkan juga untuk akhirat kita. Ketika kita bisa mencapai
kesetimbangan dinamis antara Akal dan Kalbu itulah kita disebut sebagai
pribadi yang memiliki tingkat Natural Intelligence atau
kecerdasan hakiki yang tinggi.
Dalam Natural Intelligence
kita tidak hanya mempertimbangkan urusan duniawi. Melainkan juga
ukhrowi alias akhirat kita. Itulah sebabnya dalam buku Natural
Intelligence Leadership, Anda menemukan kisah-kisah teladan para Nabi.
Mengapa? Karena tidak ada pribadi yang lebih layak untuk dijadikan
tempat berguru selain para Nabi. Keliru jika kita mengagung-agungkan
para motivator atau public speaker sambil melupakan ajaran Nabi-Nabi
kita. Karena sehebat apapun para pembicara itu, tidaklah sebanding
dengan kualitas para Nabi. Tidak bolehkah mendengar para public figure
yang menyeru kepada kebaikan? Sangat boleh. Harus, bahkan. Tetapi,
jangan sampai kekaguman kita. Kegandrungan kita. Ketundukan kita kepada
para orator itu menjauhkan kita kepada fakta bahwa Tuhan, telah
mengirimkan para utusannya sebagai Nabi dan Rasul bagi kita. Jangan
sampai kita mendengar para trainer, namun meninggalkan ajaran para
rasul.
Bukankah Nabi kita berbeda? Memangnya kenapa? Meski mereka berbeda,
ada dua kesamaan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi suci itu.
Pertama,
Para Rasul mengajak untuk menyembah hanya kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi beserta segala isinya.
Kedua, para Nabi suci itu selalu
mengajak kita untuk meraih keseimbangan hidup didunia dan diakhirat.
etahuilah bahwa para Nabi adalah the first hand masters dalam bidang
Natural Intelligence. Melalui Jibril, Tuhan membimbing mereka untuk
memahaminya. Lalu mempraktekkan dan mencontohkan kepada para umatnya
agar mampu menggunakan Akal dan Kalbu secara seimbang. Keseimbangan
antara penggunaan Akal dan Kalbu memungkinkan kita untuk menyeimbangkan
pencapaian kita di dunia dan akhirat. Jika Anda bersedia mendengar
nasihat para pembicara publik – seperti saya – misalnya; bersediakah
Anda untuk kembali kepada tuntunan para Nabi yang mengajak Anda kepada
kehidupan di dunia dan akhirat sekaligus? Yuk, kita sama-sama mengikuti
jejak langkah mereka.
Keseimbangan antara penggunaan Akal dan Kalbu membantu kita menyeimbangkan pencapaian kita di dunia dan akhirat
No comments:
Post a Comment