sarikata

ketika sang waktu tidak lagi bersahabat, gunakan hati untuk bermain dengan hari

30 June 2014

Tuhan dan Uang



Tuhan dan Uang perbedaannya sangat tipis, hanya diri kita sendiri yang tahu apakah benar kita beragama dan ber-Tuhan ataukah semuanya hanya semu. Karena banyak dari diri kita yang hidupnya didominasi oleh nafsu untuk mencari uang dan itu sebagai tujuan tertinggi dalam hidupnya. Sampai-sampai dikorbankan dirinya sendiri, keluarga dan orang disekitarnya untuk kepuasan Pribadi.

Seorang pengusaha demi keuntungan jangka pendek, ia mengorbankan kepentingan karyawannya. Semua fasilitas dibuat seminim mungkin, sehingga  keuntungan jangka pendek bisa diperoleh. Karena uang adalah Tuhan di dalam hidupnya, demi memperolehnya dia bersedia melakukan apapun termasuk membuat pegawai paling setianya hidup dalam kekurangan.

Pada sebuah kelas karyawan terjadilah sebuah kejadian yang cukup unik, sang trainer berkata “Seandainya saya Tuhan, silahkan ambil amplop yang ada di meja anda dan isilah dengan benda berharga apapun yang anda miliki (bisa uang atau apapun). Karena saya (Tuhan) menginginkannya”. Sontak mereka mengambil amplop itu dan mengambil dompet, kemudian dimasukkannya sejumlah uang ke dalam amplop. Apakah emang hal yang paling berharga yang kita miliki adalah uang? Apakah kita akan mengekspresikan iman kita dalam bentuk uang? Apakah Tuhan lebih menginginkan uang kita daripada iman kita?

Apakah diri kita sama seperti mereka? Menuhankan uang, seperti ulah sang pengusaha.. Atau menguangkan Tuhan, seperti para karyawan diatas…

Akankah kita merubah nilai-nilai Tuhan dan agamanya, dengan nilai-nilai dunia dan materialnya. Apakah mungkin nilai-nilai agama sanggup mendorong kita menjadi manusia-manusia yang bisa bekerja secara professional untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran bersama? Malah sering kita jumpai di lingkungan kita bekerja, menemukan orang-orang yang tidak bekerja professional dengan alasan agama. Tanggung jawab professional jadi terbengkalai dan agama dijadikan alasan pembenaran untuk kelalaian itu. Apakah agama yang kita anut adalah agama yang memiskinkan, yang membuat kita sebagai penganutnya tidak bisa menjalani panggilan hidup secara kompeten dan total. Bukankah agama mengajarkan kita untuk semakin tulus dalam menjalani panggilan hidup, agar selalu bertindak maksimal dan professional.

Bahkan sering kita jadikan agama hanya sebagai sarana pelarian dari kesulitan. Dimana saat kita kesulitan, ibadah dan do’a kita makin rajin. Bukankah itu artinya agama dan keyakinan serta sembah sujud dan do’a kita adalah semu semata. Dan bukankah kitapun mengerti, kalo disetiap masalah atau kesulitan harus kita cari solusi atau jalan keluarnya. Tidak hanya dengan berdo'a saja dan masalah itu akan selesai, tapi perlu sebuah tindakan nyata.

Tahukah bahwa sebenarnya apa yang diajarkan dalam agama itu?

Agama mengajarkan kita untuk memiliki keyakinan dan optimisme, dengan mempercayai bahwa Tuhan ada dan hanya menginginkan iman kita untuk mencapai puncak spiritual.

Agama mengajarkan kita untuk disiplin dan professional, dengan kita selalu mengerjakan ibadah sesuai dengan waktunya serta khusyuk disetiap ibadah dan do’a kita.

Agama mengajarkan kita untuk hidup sederhana, dengan hidup hemat sesuai kebutuhan kita dan untuk selalu berbagi dalam setiap kebahagiaan kepada sesama.

Agama mengajarkan kita untuk selalu jeli dan teliti, dengan selalu melihat dan membaca setiap kejadian yang ada di sekitar kita

Kemudian sudah sampaikah kita pada sebuah kesimpulan bahwa keyakinan pada Tuhan itu akan mendorong manusia untuk mencapai sebuah kemakmuran spiritual maupun material. Dan keyakinan pada Tuhan bukanlah suatu komoditas untuk mencari uang (menguangkan Tuhan) atau uang sebagai tujuan utama hidup (menuhankan uang). Agama dengan ajarannya akan memperkaya hidup manusia secara utuh dan mencapai kebahagiaan spiritual yang sejati.

*inspirasi Max Weber

No comments: